Total Tayangan Halaman

Jumat, 25 Oktober 2013

Upaya Pemerintah Republik Indonesia Untuk Mengintegrasikan Irian Barat
Kedalam NKRI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Sejarah Bangsa Indonesia memasuki babak baru ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dengan melalui proklamasi kemerdekaan itu Bangsa Indonesia melepaskan diri dari ikatan kekuasaan asing dan menentukan nasibnya sendiri. Selanjutnya kemerdekaan tersebut diwujudkan dalam bentuk suatu Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulut adil dan  makmur. Pada tanggal 18 Agustus itu juga oleh panitia dapat disetujui sebuah undang-undang dasar yang menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah suatu Negara kesatuan yang berbentuk Republik. Dalam penetapan undang-undang tersebut ditetapkan bahwa wilayah Indonesia meliputi seluruh bekas Hindia Belanda (Gie The L, & Istanto S. 1968: 9). Dimana wilayah tersebut meliputi kepulauan Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Borneo, Celebes, Maluku dan Nieuw Guinea (Irian Barat).
Pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan pembagian wilayah pemerintah Negara Republik Indonesia. dalam hal ini antara lain ditetapkan bahwa Indonesia dibagi dalam 8 provinsi yang masing-masing dikepalai oleh gubernur. Wilayah Irian Barat termasuk dalam lingkungan Provinsi Maluku seperti halnya pada zaman Hindia Belanda wilayah ini tergabbunng dalam Residen Maluku. Jadi Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan penyusunan Negara Republik Indonesia mencakup wilayah Irian Barat. Status wilayah ini sejak 17 Agustus 1945 merupakan bagian wilayah Indonesia. Penyusunan Negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah bekas Hindia Belanda dulu, ternyata mendapat rintangan dari pihak Belanda yang ingin tetap mempertahankan kekuasaannya seperti semula. Dengan membonceng tentara sekutu yang mendarat di Indonesia untuk melucuti tentara Jepang, mengembalikan mereka kenegaranya dan mengurus tawanan perang. Akhirnya sesudah perang dunia II, Belanda dengan kekuatan militernya dapat memegang kekuasaan kembali sebagian wilayah Indonesia yang tidak terkecuali Irian Barat (Gie The L, & Istanto S. 1968: 10).
Pemerintah Hindia Belanda yang bermaksud manjajah kembali Indonesia menghadapi kenyataan telah berdirinya  Negara Republik Indonesia. hal ini menimbulkan pertikaian antar kedua negara yang mengakibatkan terjadinya  pertempuran. Hal tersebut mendorong  kedua belah pihak untuk melakukan perundingan guna memperoleh kesepahaman. Sampai akhir 1949 antara Nagara Indonesia dengan Belanda telah terjadi 3 perundingan pokok, yaitu Linggarjati, Renvill dan Konferensi Meja Bundar. Setelah belanda kalah dalam perundingan meja bundar, pihak Belanda masih ingin tetap mempertahankan Irian Barat sebagai wilayah kekuasaannya seperti dengan adanya pernyataaan masalah Irian Barat akan dibicaran setahun setelah konferensi. Sejak Konferensi Meja Bundar tersebut pihak Belanda mengupayakaan percepatan pembangunan di berbagai bidang untuk mempersiapkan penduduk Papua menerima hak menentukan nasib sendiri. Intinya pihak Belanda beritikad mematahkan upaya pemerintah Indonesia mengintegrasikan Papua kedalam wilayah  Indonesia (Materay, B. 2012: 143). Dari latar belakang diatas kelompok kami mengambil judul “Upaya Pemerintah Republik Indonesia Untuk Mengintegrasikan Irian Barat Kedalam NKRI”.
1.2         Rumusan Masalah
1.         Bagaimana awal persengketaan mengenai Irian Barat?
2.         Bagaimana usaha Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Irian Barat kedalam NKRI?
3.         Bagaimana proses masuknya Irian Barat kedalam NKRI?
4.         Bagaimana proses penyerahan Pemerintahan di Irian Barat?

1.3         Tujuan Penulisan
1.         Mengetahui awal persengketaan mengenai Irian Barat.
2.         Mengetahui usaha Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Irian Barat kedalam NKRI.
3.         Mengetahui proses masuknya Irian Barat kedalam NKRI.
4.         Mengetahui proses penyerahan Pemerintahan di Irian Barat.



BAB II
PEMBAHASAN
                 
2.1         Awal Persengketaan Mengenai Irian Barat
A.      KMB (Konferensi Meja Bundar)
Pada periode 1946-1949 diselenggarakan sejumlah perundingan dan konferensi yang menghasilkan, antara lain, sejumlah keputusan mengenai status Papua. Dua konferensi pertama tidak melibatkan Pemerintah Indonesia, yakni diadakan di Malino dan Pangkalpinang, sehingga tidak menimbulkan konfrontasi Indonesia versus Belanda. Sedangkan Perundingan Linggarjati, Konferensi Denpasar, dan Konferensi Meja Bundar (KMB) menimbulkan bibit konfrontasi Indonesia versus Belanda. Perihal KMB, patut dicatat peran J.P.K van  Eechoud sebagai figur utama yang berperan mengeluarkan dan menjalankan berbagai kebijakan yang berhubungan dengan status dan masa depan Papua (Materay 2012: 113). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, wilayah Indonesia menurut proklamasi 17 Agustus 1945 adalah seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Menurut keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, wilayah itu mencakup Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, dan Maluku, dalam konteks ini Papua masuk Maluku.
Namun setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Belanda datang kembali dengan tujuan menguasai wilayah Indonesia dengan cara membonceng sekutu. Namun Bangsa yang yang bermaksud menjajah kembali Indonesia menghadapi kenyataan bahwa daerah bekas jajahannya telah berdiri Negara Republik Indonesia. hal tersebut menimbulkan pertikaian yang sampai memuncak dengan kekerasan senjata. Hal tersebut menyebabkan kedua belah pihak melakukan beberapa kali perundingan yaitu Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renvill dan hasil Konferensi Meja Bundar. Untuk menyelesaikan konflik Indonesia dan Belanda serta mencari cara penyerahan kedaulatan yang tidak bersyarat kepada NIS, diselenggarakanlah KMB di Den Hagg pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri United Commission Indonesia (UNCI), delegasi Belanda dan delegasi Indonesia yang terdiri atas kelompok yang memihak Republik Indonesia dan bentuk negara federal. Salah satu agenda satu agenda yang dibahas adalah masalah papua. Inilah satu-satunya topik yang sulit dipecahkan selama konferensi karena pemerintah Indonesia maupun Belanda sama-sama mempertahankan pandangan tentang Papua. Delegasi Belanda berpendapat bahwa penduduk Papua masih terbelakang cara hidupnya, jumblah sukunya belum diketahui, juga diperlukan pemimpin dan pendidikan. Berdasarkan alasan itu, Belanda tidak yakin untuk menyerahkan Papua kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dianggap baru saja merdeka (Materay 2012: 126).
Belanda mempertahankan Papua berdasarkan beberapa faktor, selain ketidakmatangan orang Papua untuk melaksanakan nasib sendir, juga kolonisasi orang-orang Indo Belanda, keuntungan ekonomi yang mungkin dapat diperoleh, dan perspektif politik kemiliteran. Perdebatan Indonesia dengan Belanda menunjukkan bahwa status Papua merupakan soal yang sangat sulit selama dalam KMB. Kompromi yang terakhir adalah Papua tidak menjadi bagian dari penyerahan kedaulatan Indonesia. Status Papua akan ditentukan satu tahun kedepan melalui negosiasi. Dalam rapat penutupan 2 November 1949 delegasi Indonesia yang diketuai Mohammad Hatta menyatakan:
Kerandjaan Netherland menjerahkan kedaulatan jang penuh atas Indonesia dengan tiada bersjarat kepada Republik Indonesia Serikat dan mengakuinja sebagai negara negara jang berdaulat. Penjerahan kedaulatan jang resmi dengan upatjara akan berlaku sebelum tanggal 30 Desember 1949.
Kegembiraan kami sedikit tertekan, oleh karena tidak segala soal dapat diselesaikan pada Konperensi Medja Bundar menjatakan ini. Irian atau Nieuw Guinea masih dalam persengketaan dan akan diusahakan menjelesaikanja dalam tahun sesudah penjerahan kedaulatan kepada RIS.
            Katoppo dalam materay (2012: 128) mengatakan bahwa pada 27 Desember 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Isi piagam penyerahan kedaulatan dalam pasal 2 adalah sebagai berikut:
            Fasal 2
                Tentang keresidenan Irian (Nieuw Guinea) telah tercapai persetudjuan  sebagai berikut:
Disebabkan hal persesuaian antara pendirian masing-masing pihak tentang Irian belum dapat ditjapai, sehingga soal ini masih menjadi pokok pertikaian.
Disebabkan keharusan Komperensi Medja Bundar diachiri dengan berhasil pada tanggal 2 November 1949.
Mengingat faktor-faktor penting jang harus diperhatikan pada pemetjahan masalah Irian itu;
Mengingat singkatnja penjelidikan jang telah dapat diadakan dan diselesaikan perihal soal-soal jang bersangkutan dengan masalah Irian itu;
Mengingat sukarnja tugas kewadjiban jang akan dihadapi dengan segera oleh peserta uni, dan
Mengingat kebulatan hati pihak-pihak jang bersangkutan hendak memperthankan asa supaja semua perselihan jang mungkin terjata kelak atau timbul diselesaikan dengan djalan patut dan rukun,
Maka status qua keresidenan Irian (Nieuw Guinea) tetap berlaku seraja ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penjerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat masalah kedudukan kenenegaraan Irian akan diselesaikan dengan djalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan keradjaan Nederland.
                Pada Desember 1949 parlemen Belanda mengumumkan bahwa berdasarkan artikel KMB, Papua harus diberi status tersendiri dan dalam perlindungan Belanda, kususnya untuk kaum peranakan Belanda. Menurut Henderson (1973) dalam Materay (2012: 130) pernyataan ini memperlihatkan tekad kuat Belanda untuk mempertahankan Papua. Belanda menginterpretasikan istilah status quo sebagai kelangsungan pemerintahan Belanda di Papua.
2.2         Usaha Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Irian Barat kedalam NKRI.
Berbagai usaha yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Irian Barat kedalam NKRI adalah sebagai berikut:
A.      Perjuangan melalui diplomasi
Berbagai usaha telah dilakukan dalam rangka memasukkan kembali Irian Jaya ke dalam wilayah RI sesuai dengan Piagam Penyerahan Kedaulatan KMB. Pada tanggal 25 Maret 1950 sampai dengan 1 April 1950 di Jakarta telah diadakan suatu Konferensi antara menteri-menteri Indonesia dan Belanda untuk membahas kembali masalah Irian Barat. Dalam konferensi tersebut diputuskan agar perundingan yang akan menentukan status kenegaraan Irian Barat dipersiapkan dahulu oleh panitia, kemudian terbentuklah panitia gabungan yang disebut Committte New Guinea. Komite ini bertugas mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah penyelesaian kenegaraan Irian Jaya yang akan dibicarakan dalam konferensi selanjutnya. Meskipun komite tersebut sydah berusaha untuk menyusun suatu laporan gabungan dari hasil studi-studi kepustakaan maupun hasil peninjauan langsung ke Irian Jaya serta pembicaraan di Jakarta dan Den Haag, namun selalu mengalami kegagalan karena memang titik tolak kepentingan antara Indonesia dan Belanda saling berbeda sehingga persetujuan tidak pernah tercapai.
Berbagai perjuangan lewat diplomasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.        Perundingan Bilateral Indonesia Belanda
Pada tanggal 24 Maret 1950 diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri Uni Belanda - Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk suatu komisi yang anggotanya wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk menyelidiki masalah Irian Barat. Hasil kerja Komisi ini harus dilaporkan dalam Konferensi Tingkat Menteri II di Den Haag pada bulan Desember 1950. Ternyata pembicaraan dalam tingkat ini tidak menghasilkan penyelesaian masalah Irian Barat. Pertemuan Bilateral Indonesia dan Belanda berturur-turut diadakan pada tahun 1952 dan 1954, namun hasilnya tetap sama, yaitu Belanda enggan mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia sesuai hasil KMB.

2.        Melalui Forum PBB
Setelah perundingan bilateral yang dilaksanakan pada tahun 1950, 1952 dan 1954 mengalami kegagalan, Indonesia berupaya mengajukan masalah Irian Barat dalam forum PBB. Sidang Umum PBB yang pertama kali membahas masalah Irian Barat dilaksanakan tanggal 10 Desember 1954. Sidang ini gagal untuk mendapatkan 2/3 suara dukungan yang diperlukan untuk mendesak Belanda. Indonesia secara bertrurut turut mengajukan lagi sengketa Irian Barat dalam Majelis Umum X tahun 1955, Majelis Umum XI tahun 1956, dan Majelis Umum XII tahun 1957. Tetapi hasil pemungutan suara yang diperoleh tidak dapat memperoleh 2/3 suara yang diperlukan.
3.        Dukungan Negara Negara Asia Afrika (KAA)
Gagal melalui cara bilateral, Indonesia juga menempuh jalur diplomasi secara regional dengan mencari dukungan dari negara-negara Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Indonesia tahun 1955 dan dihadiri oleh 29 negara-negara di kawasan Asia Afrika, secara bulat mendukung upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali Irian sebagai wilayah yang sah dari RI. Namun suara bangsa-bangsa Asia Afrika di dalam forum PBB tetap tidak dapat menarik dukungan internasional dalam sidang Majelis Umum PBB.
Karena perundingan Den Haag serta perundingan lainnya mengalami kegagalan, maka pada tahun 1953 pemerintah Indonesia meminta perhatian dunia Internasional tentang masalah Irian Jaya dengan mengajukan ke forum PBB. Hal ini pun mengalami kegagalan. Perjuangan diplomasi terus dilakukan oleh Indonesia pada setiap kesempatan. Seperti halnya pada tanggal 28-29 Desember 1954 dalam Konferensi Panca Negara di Bogor yang dihadiri oleh perdana menteri dari India, Pakistan, Birma, Sri Lanka dan Indonesia juga dibahas masalah Irian Jaya. Begitu juga dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 19-24 April 1955 masalah Irian Jaya telah mendapatkan perhatian dari Negara-negara peserta dari kawasan Asia Afrika.
B.       Perjuangan dengan konfrontasi politik dan ekonomi
Kegagalan pemerintah Indonesia untuk mengembalikan Irian Barat baik secara bilateral, Forum PBB dan dukungan Asia Afrika, membuat pemerintah RI menempuh jalan lain pengembalian Irian Barat, yaitu jalur konfrontasi. Berikut ini adalah upaya Indonesia mengembalikan Irian melalui jalur konfrontasi, yang dilakukan secara bertahap.
1.        Pembatalan Uni Indonesia Belanda
Setelah menempuh jalur diplomasi sejak tahun 1950, 1952 dan 1954, serta melalui forum PBB tahun 1954 gagal untuk mengembalikan Irian Barat kedalam pangkuan RI, pemerintah RI mulai bertindak tegas dengan tidak lagi mengakui Uni Belanda Indonesia yang dibentuk berdasarkan KMB. Ini berarti bahwa pembatalan Uni Belanda Indonesia secara sepihak oleh pemerintah RI berarti juga merupakan bentuk pembatalan terhadap isi KMB. Tindakan pemerintah RI ini juga didukung oleh kalangan masyarakat luas, partai-partai dan berbagai organisasi politik, yang menganggap bahwa kemerdekaan RI belum lengkap / sempurna selama Indonesia masih menjadi anggota UNI yang dikepalai oleh Ratu Belanda.
Pada tanggal 3 Mei 1956 Indonesia membatalkan hubungan Indonesia Belanda, berdasarkan perjanjian KMB. Pembatalan ini dilakukan dengan Undang Undang No. 13 tahun 1956 yang menyatakan, bahwa untuk selanjutnya hubungan Indonesia Belanda adalah hubungan yang lazim antara negara yang berdaulat penuh, berdasarkan hukum internasional. Sementara itu hubungan antara kedua negara semakin memburuk, karena :
·         terlibatnya orang-orang Belanda dalam berbagai pergolakan di Indonesia (APRA, Andi Azis, RMS).
·         Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
2.        Pembentukan Pemerintahan Sementara Propinsi Irian Barat di Soasiu (Maluku Utara)
Sesuai dengan Program Kerja Kabinet, Ali Sastroamidjojo membentuk Propinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasiu (Tidore). Pembentukan propinsi itu diresmikan tanggal 17 Agustus 1956. Propinsi ini meliputi wilayah Irian Barat yang masih diduduki Belanda dan daerah Tidore, Oba, Weda, Patrani, serta Wasile di Maluku Utara.
3.        Pemogokan total buruh Indonesia
Sepuluh tahun menempuh jalan damai, tidak menghasilkan apapun. Karena itu, pada tanggal 18 Nopember 1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat di seluruh tanah air. Dalam rapat umum yang diadakan hari itu, segera diikuti pemogokan total oleh buruh-buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan milik Belanda pada tanggal 2 Desember 1957. Pada hari itu juga pemerintah RI mengeluarkan larangan bagi beredarnya semua terbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda. Kemudian KLM dilarang mendarat dan terbang di seluruh wilayah Indonesia.
4.        Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda
Pada tanggal 3 Desember 1957 semua kegiatan perwakilan konsuler Belanda di Indonesia diminta untuk dihentikan. Kemudian terjadi serentetan aksi pengambil alihan modal perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia, yang semula dilakukan secara spontan oleh rakyat dan buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan Belanda ini. Namun kemudian ditampung dan dilakukan secara teratur oleh pemerintah. Pengambilalihanl modal perusahaan perusahaan milik Belanda tersebut oleh pemerintah kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958.
5.        Pemutusan Hubungan Diplomatik
Hubungan diplomatik Indonesia – Belanda bertambah tegang dan mencapai puncaknya ketika pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Dalam pidato Presiden yang berjudul ”Jalan Revolusi Kita Bagaikan Malaikat Turun Dari Langit (Jarek)” pada peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 15, tanggal 17 Agustus 1960, presiden memaklumkanpemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda. Tindakan ini merupakan reaksi atas sikap Belanda yang dianggap tidak menghendaki penyelesaian secara damai pengembalian Irian Barat kepada Indonesia. Bahkan, menjelang bulan Agustus 1960, Belanda mengirimkan kapal induk ” Karel Doorman ke Irian melalui Jepang. Disamping meningkatkan armada lautnya, Belanda juga memperkuat armada udaranya dan angkutan darat nya di Irian Barat. Karena itulah pemerintah RI mulai menyusun kekuatan bersenjatanya untuk mempersiapkan segala sesuatu kemungkinan. Konfrontasi militer pun dimulai.

C.      Peran serta peristis Irian Barat dalam pembebasan Irian Barat
Setelah beberapa kali Indonesia mendesak Belanda untuk menyelesaiakn perselisihan mengenai Irian Jaya tidak berhasil, maka pemerintah Indonesia terpaksa mengambil jalan lain yang bias mendesak Belanda untuk bias memahami maksud Indonesia yang sungguh-sungguh dalam tuntutannya terhadap Irian Jaya. Untuk keempat kalinya Indonesia mengajukan masalah Irian Jaya ke PBB dalam siding umum XII PBB, namun dalam kesempatan inipun Belanda tetap tidak memperhatikan kehendak Indonesia untuk menyelesaiakan pertikaian mengenai Irian Jaya secara damai.
Menyadari keadaan seperti ini Pemerintah Indonesia dalam keterangannya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 21 Desember 1957 menyatakan bahwa dalam siding PBB yang terakhir, Pemerintah Indonesia tidak hanya berjuang untuk mencapai pemecahan masalah terhadap Irian Jaya, melainkan lebih menegaskan perlunya upaya lain untuk mendesak Belanda agar mau berunding mengenai penyelesaian sengketa masalah Irian Jaya.
Akhirnya ditempuhlah jalan yang merupakan kunci untuk penyelesaian masalah Irian Jaya ialah Indonesia harus menguatkan dirinya di segala lapangan hidup kenegaraan yang mampu untuk menjawab setiap tantangan pihak Belanda. Istilah “Konfrontasi” disegala bidang mulai menggema sebagai awal dari perjuangan pembebasan Irian Jaya dalam bentuk lain.
Dalam bidang politik setelah Indonesia membatalkan secara sepihak persetujuan KMB, maka tepat pada ulang tahun ke –XI Kemerdekaan RI tahun 1956 diresmikan Pembentukan Propinsi Irian Barat dengan ibukota Soasiu. Propinsi tersebut meliputi wilayah Irian Jaya yang diduduki oleh belanda, daerah Tidore, Oba, Weda Patani, serta Wasile di Maluku Utara. Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah diresmikan sebagai Gubenur yang pertama di proponsi tersebut pada bulan September 1956.

2.3         Proses masuknya Irian Barat kedalam NKRI
A.      Tri Komando Rakyat
Dalam pidatonya ”Membangun Dunia Kembali” di forum PBB tanggal 30 September 1960, Presiden Soekarno berujar, ”......Kami telah mengadakan perundingan-perundingan bilateral......harapan lenyap, kesadaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”
Tindakan konfrontasi politik dan ekonomi yang dilancarkan Indonesia ternyata belum mampu memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Pada bulan April 1961 Belanda membentuk Dewan Papua, bahkan dalam Sidang umum PBB September 1961, Belanda mengumumkan berdirinya Negara Papua. Untuk mempertegas keberadaan Negara Papua, Belanda mendatangkan kapal induk ”Karel Doorman” ke Irian Barat. Terdesak oleh persiapan perang Indonesia itu, Belanda dalam sidang Majelis Umum PBB XVI tahun 1961 mengajukan usulan dekolonisasi di Irian Barat, yang dikenal dengan ”Rencana Luns”. Menanggapi rencana licik Belanda tersebut, pada tanggal 19 Desember 1961 bertempat di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengumumkan TRIKORA dalam rapat raksasa di alun alun utara Yogyakarta, yang isinya :
1.        Gagalkan berdirinya negara Boneka Papua bentukan Belanda.
2.        Kibarkan sang Merah Putih di Irian Jaya tanah air Indonesia.
3.        Bersiap melaksanakan mobilisasi umum.
B.       Pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat
Sebagai langkah pertama pelaksanaan Trikora adalah pembentukan suatu komando operasi, yang diberi nama ”Komando Mandala Pembebasan Irian Barat”. Sebagai panglima komando adalah Brigjend. Soeharto yang kermudian pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Panglima Komando : Mayjend. Soeharto
Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono
Wakil Panglima II : Kolonel Udara Leo Wattimena
Kepala Staf Gabungan : Kolonel Ahmad Tahir
Komando Mandala yang bermarkas di Makasar ini mempunyai dua tujuan :
1.        merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan operasi militer untuk mengembalikan Irian barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia
2.        mengembangkan situasi militer di wilayah Irian barat sesuai dengan perkembangan perjuangan di bidang diplomasi supaya dalam waktu singkat diciptakan daerah daerah bebas de facto atau unsur pemerintah RI di wilayah Irian Barat
Dalam upaya melaksanakan tujuan tersebut, Komando Mandala membuat strategi dengan membagi operasi pembebasan Irian Barat menjadi tiga fase, yaitu :
1.        Fase infiltrasi
Dimulai pada awal Januari tahun 1962 sampai dengan akhir tahun 1962, dengan memasukkan 10 kompi ke sekitar sasaaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto.
2.        Fase Eksploitasi
Dimulai pada awal Januari 1964 sampai dengan akhir tahun 1963, dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan, menduduki semua pos pertahanan musuh yang penting.
3.        Fase Konsolidasi
Dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 1964, dengan menegakkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Sebelum Komando mandala bekerja aktif, unsur militer yang tergabung dalam Motor Boat Torpedo (MTB) telah melakukan penyusupan ke Irian Barat. Namun kedatangan pasukan ini diketahui oleh Belanda, sehingga pecah pertempuran di Laut Arafura. Dalam pertempuran yang sangat dahsyat ini, MTB Macan Tutul berhasil ditenggelamkan oleh Belanda dan mengakibatkan gugurnya komandan MTB Macan Tutul Yoshafat Sudarso (Pahlawan Trikora).
Sementara itu Presiden Amerika Serikat yang baru saja terpilih John Fitzgerald Kennedy merasa risau dengan perkembangan yang terjadi di Irian Barat. Dukungan Uni Soviet ( PM. Nikita Kruschev ) kepada perjuangan RI untuk mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda, menimbulkan terjadinya ketegangan politik dunia, terutama pada pihak Sekutu (NATO) pimpinan Amerika Serikat yang semula sangat mendukung Belanda sebagai anggota sekutunya. Apabila Uni Soviet telah terlibat dan Indonesia terpengaruh kelompok ini, maka akan sangat membahayakan posisi Amerika Serikat di Asia dan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah Pasifik Barat Daya. Apabila pecah perang Indonesia dengan Belanda maka Amerika akan berada dalam posisi yang sulit. Amerika Serikat sebagai sekutu Belanda akan di cap sebagai negara pendukung penjajah dan Indonesia akan jatuh dalam pengaruh Uni Soviet.
Untuk itu, dengan meminjam tangan Sekjend PBB U Than, Kennedy mengirimkan diplomatnya yang bernama Elsworth Bunker untuk mengadakan pendekatan kepada Indonesia – Belanda. Sesuai dengan tugas dari Sekjend PBB ( U Than ), Elsworth Bunker pun mengadakan penelitian masalah ini, dan mengajukan usulan yang dikenal dengan ”Proposal Bunker”. Adapun isi Proposal Bunker tersebut adalah sebagai berikut:”Belanda harus menyerahkan kedaulatan atas Irian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu paling lambat dua tahun”. Usulan ini menimbulkan reaksi :
1.    Dari Indonesia : meminta supaya waktu penyerahan diperpendek
2.    Dari Belanda : setuju melalui PBB, tetapi tetap diserahkan kepada Negara Papua Merdeka
C.      Operasi Jaya Wijaya
Pelaksanaan Operasi
1.        Maret - Agustus 1962 dilancarkan operasi pendaratan melalui laut dan udara
2.        Rencana serangan terbuka untuk merebut Irian Barat sebagai suatu operasi penentuan, yang diberi nama Operasi Jaya wijaya”. Pelaksanaan operasi adalah sebagai berikut :
a.       Angkatan Laut Mandala dipimpin oleh Kolonel Soedomo membentuk tugas amphibi 17, terdiri dari 7 gugus tugas
b.      Angkatan Udara Mandala membentuk enam kesatuan tempur baru.
Sementara itu sebelum operasi Jayawijaya dilaksanakan, diadakan perundingan di Markas Besar PBB pada tanggal 15 Agustus 1962, yang menghasilkan suatu resolusi penghentian tembak menembak pada tanggal 18 Agustus 1962.

1.4    Proses Penyerahan Pemerintahan
            Sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan antara Republik Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat, maka disetujui dibentuknya sebuah Badan Penguasa Pelaksana Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Akan bersama mengajukan rancangan resolusi kepada Majelis Umum PBB agar Majelis tersebut:
1.      Mencatat persetujuan yang bersangkutan.
2.      Mengakui peranan yang diserahkan kepada sekertaris jenderal dalam persetujuan tersebut.
3.      Memberi kuasa kepada sekertaris jenderal untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepaddanya dalam persetujuan itu.
            Kemudian setelah resolusi itu diterima, pihak Belanda akan menyerahkan pemerintahan di Irian Barat kepada UNTEA. Untuk melancarkan penyerahan itu sekertaris jenderal PBB akan mengirimkan utusan guna mengadakan musyawarah singkat dengan Nederlands Nieuw Guinea sebelum Gubernur ini meninggalkan Irian Barat. Selanjutnya pada tanggal 21 September 1962 Majelis umum PBB mencatat persetujuan Indonesia-Belanda itu dengan resolusi No. 1752 (XVII). Selanjutnya sekertaris jenderal PBB mengirimkan utusan untuk menerima pemerintahan di Irian Barat. Sejak 1 Oktober 1962 berlangsunglah pemerintahan UNTEA dibawah pimpinan Jose Rolz Bennet, mulai hari itu pula bendera PBB dikibarkan di Irian Barat berdampingan bendera Belanda. Pada 31 Desember 1962 bendera Belanda diturunkan dan sebagai gantinya dinaikkanlah bendera Indonesia berdampingan dengan bendera UNTEA (Gie & Istanto, 1968: 61).
       Menurut persetujuan Indonesia-Belanda, UNTEA akan menyerahkan pemerintahan di Irian Barat seluruhnya atau  sebagian kepada Indonesia setelah berakhirnya fase pertama pada 1 Mei 1963. Dalam Gie & Istanto (1968: 61) dijelaskan, dalam Aide Memoire dari sekertaris jenderal PBB tanggal 31 Juli 1962 kepada pihak Indonesia dan tanggal 15 Agustus 1962 kepada pihak Belanda ditegaskan bahwa penyerahan kekuasaan kepada Indonesia akan dilakukan secepat mungkin sesudah tanggal 1 Mei 1963. Setelah hampir 3 bulan UNTEA menyerahkan pemerintahan di Irian Barat, dalam Desember 1962 dikalangan penduduk mulailah timbul suara-suara agar masa pemerintahan UNTEA diperpendek dan penyerahan pemerintahan kepada Republik Indonesia diperccepat. Sebuah delegasi 7 orang penduduk Irian Barat yang dipimpin oleh E.J. Bonay mendesak agar kekuasaan pemerintahan Irian Barat kepada Republik Indonesia sebelum tanggal 31 Desember 1962. Delegasi tersebut menyampaikan usulannya kepada pemerintah Indonesia di Jakarta, pemerintah Belanda dan sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa di New York. Dinegeri Belanda Perdan Menteri De Quay menyatakan bahwa Pemerintah Belanda Tidak dapat enerima usul delegasi penduduk Irian Barat itu karena Persetujuan New York yang menetapkan penyerahan pemerintahan Irian Barat pada bulan Mei 1963 harus tetap di hargai.
       Dalam bulan berikutnya terjadilah demonstrasi rakyat Irian Barat berturut-turut di Kota baru, Manokwari, Ransiki, Biak, Merauke, Enarotali dan Kokonao yang menuntut perpendekan masa pemerintahan UNTEA. Demonstrasi di Kota Baru pada tanggal 14 Januari 1963, menyampaikan sebuahh pernyataan yang ditandatangani oleh 18 pemimpin rakyat Irian Barat kepada adsminitrator UNTEA Dr. Djalal Abdoh yang berbunyi sebagai berikut:
       Kami rakyat daerah Irian Barat dengan ini menyatakan:
1.      Menuntut perpendekan pemerintah UNTEA.
2.      Menggabung segera kepada Republik Indonesia secara mutlak dan tanpa syarat.
3.      Setia kepada Proklamasi 17 Agustus 45.
4.      Menghendaki adanya kesatuan yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
5.      Menghendaki otonomi yang seluas-luasnya dalam Republik Indonesia bagi wilayah Irian Barat.
       Dari pihak Pemerintah Republik Indonesia telah pula diperjuangkan agar masa pemerintahan ENTEA di Irian Barat dipersingkat. Tapi pihak Belanda menolak untuk mengadakan perubahan terhadap apa yang telah disetujui. Sekretaris jenderal PBB sendiri pada akhir Januari 1963 menerangkan bahwa penyingkatan masa pemerintahan UNTEA tidak bisa dilaksanakan karena persetujuan Indonesia-Belanda harus dipatuhi. Walaupun demikian untuk menaggapi keinginan rakyat Irian Barat dan Pemerintah Republik Indonesiaitu, Sekretaris Jenderal PBB U Tanth dalam minggu pertama Februari 1963 mengirim kepala kabinetnya Narasimhan ke Jakarta dan Kotabaru dengan tugas menjamin pengalihan yang selancar mungkin dari pemerintah di Irian Barat.
       Sesuai dengan keputusan yang telah diumumkan oleh Narasimhan di awal, pada 14 Februari 1963 PBB di New York mengumumkan rencana terperinci mengenai penyerahan kekuasaan kepada Indonesia. Menurut rencanan itu pada 16 April 1963 pasukan Indonesia akan berangsur-angsur menggantikan pasukan Pakistan dan serah terima tugas keamanan itu diharapkan selesai seluruhnnya pada 1 Mei, pejabat-pejabat Belanda akan digantikan oleh tenaga-tenaga Indonesia paling lambat 31 Maret 1963. Demikianlah pada tanggal 1 Mei 1963 pagi hari di Kotabaru, Irian Barat berlangsunglah penyerahan kekuasaan pemerintahan sepenuhnya Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia. penyerahan kekuasaan pemerintahan atas Irian Bartat itu diterima oleh wakil pemerintah Republik Indonesia, Sudjarwo Tjondronegoro SH.
      
Ø  Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
Sebagai salah satu kewajiban pemerintah Republik Indonesia menurut persetujuan New York, adalah pemerintah RI harus mengadakan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat paling lambat akhir tahun 1969. pepera ini untuk menentukan apakah rakyat Irian Barat memilih, ikut RI atau merdeka sendiri. Penentuan pendapat Rakyat akhirnya dilaksanakan pada tanggal 24 Maret sampai dengan 4 Agustus 1969.Mereka diberi dua opsi, yaitu : bergabung dengan RI atau merdeka sendiri.
Setelah Pepera dilaksanakan, Dewan Musyawarah Pepera mengumumkan bahwa rakyat Irian dengan suara bulat memutuskan Irian Jaya tetap merupakan bagian dari Republik Indoenesia. Hasil ini dibawa Duta Besar Ortiz Sanz untuk dilaporkan dalam sidang umum PBB ke 24 bulan Nopember 1969. Sejak saat itu secara de yure Irian Jaya sah menjadi milik RI.
Dengan menganalisa fakta-fakta pembebasan Irian Barat sampai kemudian dilaksanakan Pepera, dapat diambil kesimpulan bahwa Pepera mempunyai arti yang sangat penting bagi pemerintah Indonesia, yaitu :
2.        bukti bahwa pemerintah Indonesia dengan merebut Irian Barat melalui konfrontasi bukan merupakan sebuah tindakan aneksasi / penjajahan kepada bangsa lain, karena secara sah dipandang dari segi de facto dan de jure Irian Barat merupakan bagian dari wilayah RI.
3.        upaya keras pemerintah Ri merebut kembali Irian Barat bukan merupakan tindakan sepihak, tetapi juga mendapat dukungan dari masyarakat Irian Barat. Terbukti hasil Pepera menyatakan rakyat Irian ingin bergabung dengan Republik Indonesia.
           



BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Sejarah Bangsa Indonesia memasuki babak baru ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Belanda datang kembali dengan tujuan menguasai wilayah Indonesia dengan cara membonceng sekutu. Namun Bangsa yang yang bermaksud menjajah kembali Indonesia menghadapi kenyataan bahwa daerah bekas jajahannya telah berdiri Negara Republik Indonesia. Belanda mempertahankan Papua berdasarkan beberapa faktor, selain ketidakmatangan orang Papua untuk melaksanakan nasib sendir, juga kolonisasi orang-orang Indo Belanda, keuntungan ekonomi yang mungkin dapat diperoleh, dan perspektif politik kemiliteran. Perdebatan Indonesia dengan Belanda menunjukkan bahwa status Papua merupakan soal yang sangat sulit selama dalam KMB.
3.2  Saran
Saran saya peruntukkan untuk semua pembacaa makalah ini agar lebih dapat  menghargai jerih payah hasil kemerdekaan yang telah diperjuangkan.











DAFTAR RUJUKAN
Gie The L & Istanto S. 1968. Pertumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian Barat dan Kemungkinan-Kemungkinan Perkembangan Otonominya dihari kemudian Djilid 1. Yogyakarta: FISIP UGM.
Koentjaraningrat & Bachtiar H. 1963. Penduduk Irian Barat. Jakarta: P.T Penerbitan Universitas.
Materay, B. 2012. Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Mustopo, dkk. 1986. Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat. Jakarta: Yayasan Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat.
Poesponegoro, M.D., dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Widhi. 2010. Perjuangan Bangsa Indonesia. (Online), (Sejarahblog.blogspot.com), Diakses 13 Oktober 2013, Pukul 05.06 PM
­

1 komentar: