Upaya Pemerintah
Republik Indonesia Untuk Mengintegrasikan
Irian Barat
Kedalam NKRI
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sejarah Bangsa Indonesia memasuki babak baru ketika pada
tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta atas nama bangsa
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dengan melalui proklamasi
kemerdekaan itu Bangsa Indonesia melepaskan diri dari ikatan kekuasaan asing
dan menentukan nasibnya sendiri. Selanjutnya kemerdekaan tersebut diwujudkan
dalam bentuk suatu Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulut adil
dan makmur. Pada tanggal 18 Agustus itu
juga oleh panitia dapat disetujui sebuah undang-undang dasar yang menetapkan
bahwa Negara Indonesia adalah suatu Negara kesatuan yang berbentuk Republik.
Dalam penetapan undang-undang tersebut ditetapkan bahwa wilayah Indonesia
meliputi seluruh bekas Hindia Belanda (Gie The L, & Istanto S. 1968: 9).
Dimana wilayah tersebut meliputi kepulauan Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Borneo,
Celebes, Maluku dan Nieuw Guinea (Irian Barat).
Pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia menetapkan pembagian wilayah pemerintah Negara Republik
Indonesia. dalam hal ini antara lain ditetapkan bahwa Indonesia dibagi dalam 8
provinsi yang masing-masing dikepalai oleh gubernur. Wilayah Irian Barat
termasuk dalam lingkungan Provinsi Maluku seperti halnya pada zaman Hindia
Belanda wilayah ini tergabbunng dalam Residen Maluku. Jadi Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan penyusunan Negara Republik Indonesia mencakup
wilayah Irian Barat. Status wilayah ini sejak 17 Agustus 1945 merupakan bagian
wilayah Indonesia. Penyusunan Negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah
bekas Hindia Belanda dulu, ternyata mendapat rintangan dari pihak Belanda yang
ingin tetap mempertahankan kekuasaannya seperti semula. Dengan membonceng
tentara sekutu yang mendarat di Indonesia untuk melucuti tentara Jepang, mengembalikan
mereka kenegaranya dan mengurus tawanan perang. Akhirnya sesudah perang dunia
II, Belanda dengan kekuatan militernya dapat memegang kekuasaan kembali
sebagian wilayah Indonesia yang tidak terkecuali Irian Barat (Gie The L, &
Istanto S. 1968: 10).
Pemerintah Hindia Belanda yang bermaksud manjajah kembali
Indonesia menghadapi kenyataan telah berdirinya
Negara Republik Indonesia. hal ini menimbulkan pertikaian antar kedua
negara yang mengakibatkan terjadinya
pertempuran. Hal tersebut mendorong
kedua belah pihak untuk melakukan perundingan guna memperoleh
kesepahaman. Sampai akhir 1949 antara Nagara Indonesia dengan Belanda telah
terjadi 3 perundingan pokok, yaitu Linggarjati, Renvill dan Konferensi Meja
Bundar. Setelah belanda kalah dalam perundingan meja bundar, pihak Belanda
masih ingin tetap mempertahankan Irian Barat sebagai wilayah kekuasaannya
seperti dengan adanya pernyataaan masalah Irian Barat akan dibicaran setahun
setelah konferensi. Sejak Konferensi Meja Bundar tersebut pihak Belanda mengupayakaan
percepatan pembangunan di berbagai bidang untuk mempersiapkan penduduk Papua
menerima hak menentukan nasib sendiri. Intinya pihak Belanda beritikad
mematahkan upaya pemerintah Indonesia mengintegrasikan Papua kedalam
wilayah Indonesia (Materay, B. 2012:
143). Dari latar belakang diatas kelompok kami mengambil judul “Upaya
Pemerintah Republik Indonesia Untuk Mengintegrasikan
Irian Barat Kedalam
NKRI”.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana awal
persengketaan mengenai Irian Barat?
2.
Bagaimana usaha
Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Irian Barat kedalam NKRI?
3.
Bagaimana proses
masuknya Irian Barat kedalam NKRI?
4.
Bagaimana proses
penyerahan Pemerintahan di Irian Barat?
1.3
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui awal
persengketaan mengenai Irian Barat.
2.
Mengetahui usaha
Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Irian Barat kedalam NKRI.
3.
Mengetahui proses
masuknya Irian Barat kedalam NKRI.
4.
Mengetahui proses
penyerahan Pemerintahan di Irian Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Awal
Persengketaan Mengenai Irian Barat
A.
KMB
(Konferensi Meja Bundar)
Pada periode 1946-1949 diselenggarakan sejumlah perundingan
dan konferensi yang menghasilkan, antara lain, sejumlah keputusan mengenai
status Papua. Dua konferensi pertama tidak melibatkan Pemerintah Indonesia,
yakni diadakan di Malino dan Pangkalpinang, sehingga tidak menimbulkan konfrontasi
Indonesia versus Belanda. Sedangkan Perundingan Linggarjati, Konferensi
Denpasar, dan Konferensi Meja Bundar (KMB) menimbulkan bibit konfrontasi
Indonesia versus Belanda. Perihal KMB, patut dicatat peran J.P.K van Eechoud sebagai figur utama yang berperan
mengeluarkan dan menjalankan berbagai kebijakan yang berhubungan dengan status
dan masa depan Papua (Materay 2012: 113). Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, wilayah Indonesia menurut proklamasi 17 Agustus 1945 adalah seluruh
wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Menurut keputusan rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, wilayah itu mencakup
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, dan Maluku, dalam konteks ini
Papua masuk Maluku.
Namun setelah bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, Belanda datang kembali dengan tujuan menguasai wilayah
Indonesia dengan cara membonceng sekutu. Namun Bangsa yang yang bermaksud
menjajah kembali Indonesia menghadapi kenyataan bahwa daerah bekas jajahannya
telah berdiri Negara Republik Indonesia. hal tersebut menimbulkan pertikaian
yang sampai memuncak dengan kekerasan senjata. Hal tersebut menyebabkan kedua
belah pihak melakukan beberapa kali perundingan yaitu Perjanjian Linggarjati,
Perjanjian Renvill dan hasil Konferensi Meja Bundar. Untuk menyelesaikan
konflik Indonesia dan Belanda serta mencari cara penyerahan kedaulatan yang
tidak bersyarat kepada NIS, diselenggarakanlah KMB di Den Hagg pada 23 Agustus
hingga 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri United Commission Indonesia
(UNCI), delegasi Belanda dan delegasi Indonesia yang terdiri atas kelompok yang
memihak Republik Indonesia dan bentuk negara federal. Salah satu agenda satu
agenda yang dibahas adalah masalah papua. Inilah satu-satunya topik yang sulit
dipecahkan selama konferensi karena pemerintah Indonesia maupun Belanda
sama-sama mempertahankan pandangan tentang Papua. Delegasi Belanda berpendapat bahwa
penduduk Papua masih terbelakang cara hidupnya, jumblah sukunya belum
diketahui, juga diperlukan pemimpin dan pendidikan. Berdasarkan alasan itu,
Belanda tidak yakin untuk menyerahkan Papua kepada Republik Indonesia Serikat
(RIS) yang dianggap baru saja merdeka (Materay 2012: 126).
Belanda mempertahankan Papua berdasarkan beberapa faktor,
selain ketidakmatangan orang Papua untuk melaksanakan nasib sendir, juga
kolonisasi orang-orang Indo Belanda, keuntungan ekonomi yang mungkin dapat
diperoleh, dan perspektif politik kemiliteran. Perdebatan Indonesia dengan
Belanda menunjukkan bahwa status Papua merupakan soal yang sangat sulit selama
dalam KMB. Kompromi yang terakhir adalah Papua tidak menjadi bagian dari
penyerahan kedaulatan Indonesia. Status Papua akan ditentukan satu tahun
kedepan melalui negosiasi. Dalam rapat penutupan 2 November 1949 delegasi
Indonesia yang diketuai Mohammad Hatta menyatakan:
Kerandjaan Netherland menjerahkan kedaulatan jang penuh
atas Indonesia dengan tiada bersjarat kepada Republik Indonesia Serikat dan
mengakuinja sebagai negara negara jang berdaulat. Penjerahan kedaulatan jang
resmi dengan upatjara akan berlaku sebelum tanggal 30 Desember 1949.
Kegembiraan kami sedikit tertekan, oleh karena tidak
segala soal dapat diselesaikan pada Konperensi Medja Bundar menjatakan ini.
Irian atau Nieuw Guinea masih dalam persengketaan dan akan diusahakan
menjelesaikanja dalam tahun sesudah penjerahan kedaulatan kepada RIS.
Katoppo
dalam materay (2012: 128) mengatakan bahwa pada 27 Desember 1949 dilakukan
penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Isi piagam penyerahan kedaulatan dalam
pasal 2 adalah sebagai berikut:
Fasal 2
Tentang
keresidenan Irian (Nieuw Guinea) telah tercapai persetudjuan sebagai berikut:
Disebabkan hal persesuaian antara pendirian masing-masing
pihak tentang Irian belum dapat ditjapai, sehingga soal ini masih menjadi pokok
pertikaian.
Disebabkan keharusan Komperensi Medja Bundar diachiri
dengan berhasil pada tanggal 2 November 1949.
Mengingat faktor-faktor penting jang harus diperhatikan
pada pemetjahan masalah Irian itu;
Mengingat singkatnja penjelidikan jang telah dapat
diadakan dan diselesaikan perihal soal-soal jang bersangkutan dengan masalah
Irian itu;
Mengingat sukarnja tugas kewadjiban jang akan dihadapi
dengan segera oleh peserta uni, dan
Mengingat kebulatan hati pihak-pihak jang bersangkutan
hendak memperthankan asa supaja semua perselihan jang mungkin terjata kelak
atau timbul diselesaikan dengan djalan patut dan rukun,
Maka status qua keresidenan Irian (Nieuw Guinea) tetap
berlaku seraja ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penjerahan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat masalah kedudukan kenenegaraan
Irian akan diselesaikan dengan djalan perundingan antara Republik Indonesia
Serikat dan keradjaan Nederland.
Pada Desember 1949 parlemen Belanda mengumumkan bahwa
berdasarkan artikel KMB, Papua harus diberi status tersendiri dan dalam
perlindungan Belanda, kususnya untuk kaum peranakan Belanda. Menurut Henderson
(1973) dalam Materay (2012: 130) pernyataan ini memperlihatkan tekad kuat
Belanda untuk mempertahankan Papua. Belanda menginterpretasikan istilah status
quo sebagai kelangsungan pemerintahan Belanda di Papua.
2.2
Usaha
Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Irian Barat kedalam NKRI.
Berbagai
usaha yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Irian Barat kedalam
NKRI adalah sebagai berikut:
A.
Perjuangan
melalui diplomasi
Berbagai
usaha telah dilakukan dalam rangka memasukkan kembali Irian Jaya ke dalam
wilayah RI sesuai dengan Piagam Penyerahan Kedaulatan KMB. Pada tanggal 25
Maret 1950 sampai dengan 1 April 1950 di Jakarta telah diadakan suatu
Konferensi antara menteri-menteri Indonesia dan Belanda untuk membahas kembali
masalah Irian Barat. Dalam konferensi tersebut diputuskan agar perundingan yang
akan menentukan status kenegaraan Irian Barat dipersiapkan dahulu oleh panitia,
kemudian terbentuklah panitia gabungan yang disebut Committte New Guinea.
Komite ini bertugas mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah
penyelesaian kenegaraan Irian Jaya yang akan dibicarakan dalam konferensi selanjutnya.
Meskipun komite tersebut sydah berusaha untuk menyusun suatu laporan gabungan
dari hasil studi-studi kepustakaan maupun hasil peninjauan langsung ke Irian
Jaya serta pembicaraan di Jakarta dan Den Haag, namun selalu mengalami
kegagalan karena memang titik tolak kepentingan antara Indonesia dan Belanda
saling berbeda sehingga persetujuan tidak pernah tercapai.
Berbagai
perjuangan lewat diplomasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.
Perundingan Bilateral
Indonesia Belanda
Pada tanggal 24 Maret 1950 diselenggarakan Konferensi
Tingkat Menteri Uni Belanda - Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk
suatu komisi yang anggotanya wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk
menyelidiki masalah Irian Barat. Hasil kerja Komisi ini harus dilaporkan dalam
Konferensi Tingkat Menteri II di Den Haag pada bulan Desember 1950. Ternyata
pembicaraan dalam tingkat ini tidak menghasilkan penyelesaian masalah Irian
Barat. Pertemuan Bilateral Indonesia dan Belanda berturur-turut diadakan pada tahun
1952 dan 1954, namun hasilnya tetap sama, yaitu Belanda enggan mengembalikan
Irian Barat kepada Indonesia sesuai hasil KMB.
2.
Melalui Forum PBB
Setelah perundingan bilateral yang dilaksanakan pada
tahun 1950, 1952 dan 1954 mengalami kegagalan, Indonesia berupaya mengajukan
masalah Irian Barat dalam forum PBB. Sidang Umum PBB yang pertama kali membahas
masalah Irian Barat dilaksanakan tanggal 10 Desember 1954. Sidang ini gagal
untuk mendapatkan 2/3 suara dukungan yang diperlukan untuk mendesak Belanda. Indonesia secara bertrurut turut
mengajukan lagi sengketa Irian Barat dalam Majelis Umum X tahun 1955, Majelis
Umum XI tahun 1956, dan Majelis Umum XII tahun 1957. Tetapi hasil pemungutan
suara yang diperoleh tidak dapat memperoleh 2/3 suara yang diperlukan.
3.
Dukungan Negara Negara
Asia Afrika (KAA)
Gagal melalui cara
bilateral, Indonesia juga menempuh jalur diplomasi secara regional dengan
mencari dukungan dari negara-negara Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika yang
diadakan di Indonesia tahun 1955 dan dihadiri oleh 29 negara-negara di kawasan
Asia Afrika, secara bulat mendukung upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh
kembali Irian sebagai wilayah yang sah dari RI. Namun suara bangsa-bangsa Asia
Afrika di dalam forum PBB tetap tidak dapat menarik dukungan internasional
dalam sidang Majelis Umum PBB.
Karena
perundingan Den Haag serta perundingan lainnya mengalami kegagalan, maka pada
tahun 1953 pemerintah Indonesia meminta perhatian dunia Internasional tentang
masalah Irian Jaya dengan mengajukan ke forum PBB. Hal ini pun mengalami
kegagalan. Perjuangan diplomasi terus dilakukan oleh Indonesia pada setiap
kesempatan. Seperti halnya pada tanggal 28-29 Desember 1954 dalam Konferensi
Panca Negara di Bogor yang dihadiri oleh perdana menteri dari India, Pakistan,
Birma, Sri Lanka dan Indonesia juga dibahas masalah Irian Jaya. Begitu juga
dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 19-24 April 1955 masalah
Irian Jaya telah mendapatkan perhatian dari Negara-negara peserta dari kawasan
Asia Afrika.
B. Perjuangan dengan
konfrontasi politik dan ekonomi
Kegagalan pemerintah Indonesia
untuk mengembalikan Irian Barat baik secara bilateral, Forum PBB dan dukungan
Asia Afrika, membuat pemerintah RI menempuh jalan lain pengembalian Irian
Barat, yaitu jalur konfrontasi. Berikut ini adalah upaya Indonesia mengembalikan
Irian melalui jalur konfrontasi, yang dilakukan secara bertahap.
1.
Pembatalan Uni Indonesia
Belanda
Setelah menempuh
jalur diplomasi sejak tahun 1950, 1952 dan 1954, serta melalui forum PBB tahun
1954 gagal untuk mengembalikan Irian Barat kedalam pangkuan RI, pemerintah RI
mulai bertindak tegas dengan tidak lagi mengakui Uni Belanda Indonesia yang
dibentuk berdasarkan KMB. Ini berarti bahwa pembatalan Uni Belanda Indonesia
secara sepihak oleh pemerintah RI berarti juga merupakan bentuk pembatalan
terhadap isi KMB. Tindakan pemerintah RI ini juga didukung oleh kalangan
masyarakat luas, partai-partai dan berbagai organisasi politik, yang menganggap
bahwa kemerdekaan RI belum lengkap / sempurna selama Indonesia masih menjadi
anggota UNI yang dikepalai oleh Ratu Belanda.
Pada tanggal 3 Mei 1956 Indonesia membatalkan hubungan
Indonesia Belanda, berdasarkan perjanjian KMB. Pembatalan ini dilakukan dengan
Undang Undang No. 13 tahun 1956 yang menyatakan, bahwa untuk selanjutnya
hubungan Indonesia Belanda adalah hubungan yang lazim antara negara yang
berdaulat penuh, berdasarkan hukum internasional. Sementara itu
hubungan antara kedua negara semakin memburuk, karena :
·
terlibatnya orang-orang Belanda dalam berbagai
pergolakan di Indonesia (APRA, Andi Azis, RMS).
·
Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat
kepada Indonesia.
2.
Pembentukan Pemerintahan
Sementara Propinsi Irian Barat di Soasiu (Maluku Utara)
Sesuai dengan Program Kerja Kabinet, Ali
Sastroamidjojo membentuk Propinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasiu (Tidore).
Pembentukan propinsi itu diresmikan tanggal 17 Agustus 1956. Propinsi ini
meliputi wilayah Irian Barat yang masih diduduki Belanda dan daerah Tidore,
Oba, Weda, Patrani, serta Wasile di Maluku Utara.
3.
Pemogokan total buruh Indonesia
Sepuluh tahun menempuh jalan damai, tidak menghasilkan
apapun. Karena itu, pada tanggal 18 Nopember 1957 dilancarkan aksi-aksi
pembebasan Irian Barat di seluruh tanah air. Dalam rapat umum yang diadakan
hari itu, segera diikuti pemogokan total oleh buruh-buruh yang bekerja pada
perusahaan-perusahaan milik Belanda pada tanggal 2 Desember 1957. Pada
hari itu juga pemerintah RI mengeluarkan larangan bagi beredarnya semua
terbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda. Kemudian KLM dilarang
mendarat dan terbang di seluruh wilayah Indonesia.
4.
Nasionalisasi Perusahaan
Milik Belanda
Pada tanggal 3
Desember 1957 semua kegiatan perwakilan konsuler Belanda di Indonesia diminta
untuk dihentikan. Kemudian terjadi serentetan aksi pengambil alihan modal
perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia, yang semula dilakukan secara
spontan oleh rakyat dan buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan Belanda
ini. Namun kemudian ditampung dan dilakukan secara teratur oleh pemerintah.
Pengambilalihanl modal perusahaan perusahaan milik Belanda tersebut
oleh pemerintah kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958.
5.
Pemutusan Hubungan
Diplomatik
Hubungan diplomatik
Indonesia – Belanda bertambah tegang dan mencapai puncaknya ketika pemerintah
Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Dalam pidato Presiden
yang berjudul ”Jalan Revolusi Kita
Bagaikan Malaikat Turun Dari Langit (Jarek)” pada peringatan
HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 15, tanggal 17 Agustus 1960, presiden
memaklumkanpemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda. Tindakan ini merupakan reaksi
atas sikap Belanda yang dianggap tidak menghendaki penyelesaian secara damai
pengembalian Irian Barat kepada Indonesia. Bahkan, menjelang bulan Agustus
1960, Belanda mengirimkan kapal induk ” Karel Doorman ke Irian melalui Jepang.
Disamping meningkatkan armada lautnya, Belanda juga memperkuat armada udaranya
dan angkutan darat nya di Irian Barat. Karena itulah pemerintah RI mulai menyusun kekuatan
bersenjatanya untuk mempersiapkan segala sesuatu kemungkinan. Konfrontasi
militer pun dimulai.
C.
Peran
serta peristis Irian Barat dalam pembebasan Irian Barat
Setelah
beberapa kali Indonesia mendesak Belanda untuk menyelesaiakn perselisihan
mengenai Irian Jaya tidak berhasil, maka pemerintah Indonesia terpaksa
mengambil jalan lain yang bias mendesak Belanda untuk bias memahami maksud
Indonesia yang sungguh-sungguh dalam tuntutannya terhadap Irian Jaya. Untuk
keempat kalinya Indonesia mengajukan masalah Irian Jaya ke PBB dalam siding
umum XII PBB, namun dalam kesempatan inipun Belanda tetap tidak memperhatikan
kehendak Indonesia untuk menyelesaiakan pertikaian mengenai Irian Jaya secara
damai.
Menyadari
keadaan seperti ini Pemerintah Indonesia dalam keterangannya di depan Sidang
Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 21 Desember 1957 menyatakan bahwa dalam siding
PBB yang terakhir, Pemerintah Indonesia tidak hanya berjuang untuk mencapai
pemecahan masalah terhadap Irian Jaya, melainkan lebih menegaskan perlunya
upaya lain untuk mendesak Belanda agar mau berunding mengenai penyelesaian
sengketa masalah Irian Jaya.
Akhirnya
ditempuhlah jalan yang merupakan kunci untuk penyelesaian masalah Irian Jaya
ialah Indonesia harus menguatkan dirinya di segala lapangan hidup kenegaraan
yang mampu untuk menjawab setiap tantangan pihak Belanda. Istilah “Konfrontasi”
disegala bidang mulai menggema sebagai awal dari perjuangan pembebasan Irian
Jaya dalam bentuk lain.
Dalam
bidang politik setelah Indonesia membatalkan secara sepihak persetujuan KMB,
maka tepat pada ulang tahun ke –XI Kemerdekaan RI tahun 1956 diresmikan
Pembentukan Propinsi Irian Barat dengan ibukota Soasiu. Propinsi tersebut
meliputi wilayah Irian Jaya yang diduduki oleh belanda, daerah Tidore, Oba,
Weda Patani, serta Wasile di Maluku Utara. Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah
diresmikan sebagai Gubenur yang pertama di proponsi tersebut pada bulan
September 1956.
2.3
Proses
masuknya Irian Barat kedalam NKRI
A.
Tri Komando Rakyat
Dalam pidatonya
”Membangun Dunia Kembali” di forum PBB tanggal 30 September 1960, Presiden
Soekarno berujar, ”......Kami telah mengadakan perundingan-perundingan
bilateral......harapan lenyap, kesadaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai
batasnya. Semuanya itu telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif
lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”
Tindakan konfrontasi
politik dan ekonomi yang dilancarkan Indonesia ternyata belum mampu memaksa
Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Pada bulan April 1961 Belanda membentuk
Dewan Papua, bahkan dalam Sidang umum PBB September 1961, Belanda mengumumkan
berdirinya Negara Papua. Untuk mempertegas keberadaan Negara Papua, Belanda
mendatangkan kapal induk ”Karel Doorman” ke Irian Barat. Terdesak oleh
persiapan perang Indonesia itu, Belanda dalam sidang Majelis Umum PBB XVI tahun
1961 mengajukan usulan dekolonisasi di Irian Barat, yang dikenal dengan
”Rencana Luns”. Menanggapi rencana licik Belanda tersebut, pada tanggal 19
Desember 1961 bertempat di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengumumkan TRIKORA
dalam rapat raksasa di alun alun utara Yogyakarta, yang isinya :
1.
Gagalkan berdirinya negara Boneka Papua bentukan
Belanda.
2.
Kibarkan sang Merah Putih di Irian Jaya tanah air
Indonesia.
3.
Bersiap melaksanakan mobilisasi umum.
B. Pembentukan Komando
Mandala Pembebasan Irian Barat
Sebagai langkah
pertama pelaksanaan Trikora adalah pembentukan suatu komando operasi, yang
diberi nama ”Komando Mandala Pembebasan Irian Barat”. Sebagai panglima komando adalah
Brigjend. Soeharto yang kermudian pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Panglima
Komando : Mayjend. Soeharto
Wakil Panglima
I : Kolonel Laut Subono
Wakil Panglima
II : Kolonel Udara Leo Wattimena
Kepala Staf
Gabungan : Kolonel Ahmad Tahir
Komando Mandala yang bermarkas di Makasar ini
mempunyai dua tujuan :
1.
merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan operasi
militer untuk mengembalikan Irian barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia
2.
mengembangkan situasi militer di wilayah Irian
barat sesuai dengan perkembangan perjuangan di bidang diplomasi supaya dalam
waktu singkat diciptakan daerah daerah bebas de facto atau unsur pemerintah RI
di wilayah Irian Barat
Dalam upaya
melaksanakan tujuan tersebut, Komando Mandala membuat strategi dengan membagi
operasi pembebasan Irian Barat menjadi tiga fase, yaitu :
1.
Fase infiltrasi
Dimulai pada awal
Januari tahun 1962 sampai dengan akhir tahun 1962, dengan memasukkan 10 kompi
ke sekitar sasaaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto.
2.
Fase Eksploitasi
Dimulai pada awal
Januari 1964 sampai dengan akhir tahun 1963, dengan mengadakan serangan terbuka
terhadap induk militer lawan, menduduki semua pos pertahanan musuh yang
penting.
3.
Fase Konsolidasi
Dilaksanakan pada
tanggal 1 Januari 1964, dengan menegakkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh
Irian Barat.
Sebelum Komando mandala bekerja
aktif, unsur militer yang tergabung dalam Motor Boat Torpedo (MTB) telah
melakukan penyusupan ke Irian Barat. Namun kedatangan pasukan ini diketahui
oleh Belanda, sehingga pecah pertempuran di Laut Arafura. Dalam pertempuran
yang sangat dahsyat ini, MTB Macan Tutul berhasil ditenggelamkan oleh Belanda
dan mengakibatkan gugurnya komandan MTB Macan Tutul Yoshafat Sudarso (Pahlawan
Trikora).
Sementara itu Presiden Amerika Serikat yang baru saja
terpilih John Fitzgerald Kennedy merasa risau dengan perkembangan yang terjadi
di Irian Barat. Dukungan Uni Soviet ( PM. Nikita Kruschev ) kepada
perjuangan RI untuk mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda, menimbulkan
terjadinya ketegangan politik dunia, terutama pada pihak Sekutu (NATO) pimpinan
Amerika Serikat yang semula sangat mendukung Belanda sebagai anggota sekutunya.
Apabila Uni Soviet telah terlibat dan Indonesia terpengaruh kelompok ini, maka
akan sangat membahayakan posisi Amerika Serikat di Asia dan dikhawatirkan akan
menimbulkan masalah Pasifik Barat Daya. Apabila pecah perang Indonesia dengan
Belanda maka Amerika akan berada dalam posisi yang sulit. Amerika Serikat
sebagai sekutu Belanda akan di cap sebagai negara pendukung penjajah dan
Indonesia akan jatuh dalam pengaruh Uni Soviet.
Untuk itu, dengan meminjam
tangan Sekjend PBB U Than, Kennedy mengirimkan diplomatnya yang bernama
Elsworth Bunker untuk mengadakan pendekatan kepada Indonesia – Belanda. Sesuai dengan tugas dari Sekjend
PBB ( U Than ), Elsworth Bunker pun mengadakan penelitian masalah ini, dan
mengajukan usulan yang dikenal dengan ”Proposal Bunker”. Adapun
isi Proposal Bunker tersebut adalah sebagai berikut:”Belanda harus
menyerahkan kedaulatan atas Irian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam
jangka waktu paling lambat dua tahun”. Usulan ini menimbulkan reaksi :
1.
Dari Indonesia : meminta supaya waktu
penyerahan diperpendek
2.
Dari Belanda : setuju melalui PBB, tetapi
tetap diserahkan kepada Negara Papua Merdeka
C. Operasi Jaya Wijaya
Pelaksanaan Operasi
1.
Maret - Agustus 1962 dilancarkan operasi pendaratan
melalui laut dan udara
2.
Rencana serangan terbuka untuk merebut Irian Barat
sebagai suatu operasi penentuan, yang diberi nama Operasi Jaya wijaya”.
Pelaksanaan operasi adalah sebagai berikut :
a.
Angkatan Laut Mandala dipimpin oleh Kolonel Soedomo
membentuk tugas amphibi 17, terdiri dari 7 gugus tugas
b.
Angkatan Udara Mandala membentuk enam kesatuan
tempur baru.
Sementara itu sebelum operasi Jayawijaya dilaksanakan,
diadakan perundingan di Markas Besar PBB pada tanggal 15 Agustus 1962, yang
menghasilkan suatu resolusi penghentian tembak menembak pada tanggal 18 Agustus
1962.
1.4 Proses Penyerahan Pemerintahan
Sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan antara Republik Indonesia dan
Belanda mengenai Irian Barat, maka disetujui dibentuknya sebuah Badan Penguasa
Pelaksana Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Temporary
Executive Authority (UNTEA). Akan bersama mengajukan rancangan resolusi kepada
Majelis Umum PBB agar Majelis tersebut:
1.
Mencatat persetujuan yang bersangkutan.
2.
Mengakui peranan yang diserahkan kepada sekertaris jenderal dalam
persetujuan tersebut.
3.
Memberi kuasa kepada sekertaris jenderal untuk melaksanakan tugas yang
dibebankan kepaddanya dalam persetujuan itu.
Kemudian
setelah resolusi itu diterima, pihak Belanda akan menyerahkan pemerintahan di
Irian Barat kepada UNTEA. Untuk melancarkan penyerahan itu sekertaris jenderal
PBB akan mengirimkan utusan guna mengadakan musyawarah singkat dengan
Nederlands Nieuw Guinea sebelum Gubernur ini meninggalkan Irian Barat. Selanjutnya
pada tanggal 21 September 1962 Majelis umum PBB mencatat persetujuan
Indonesia-Belanda itu dengan resolusi No. 1752 (XVII). Selanjutnya sekertaris
jenderal PBB mengirimkan utusan untuk menerima pemerintahan di Irian Barat.
Sejak 1 Oktober 1962 berlangsunglah pemerintahan UNTEA dibawah pimpinan Jose
Rolz Bennet, mulai hari itu pula bendera PBB dikibarkan di Irian Barat
berdampingan bendera Belanda. Pada 31 Desember 1962 bendera Belanda diturunkan
dan sebagai gantinya dinaikkanlah bendera Indonesia berdampingan dengan bendera
UNTEA (Gie & Istanto, 1968: 61).
Menurut
persetujuan Indonesia-Belanda, UNTEA akan menyerahkan pemerintahan di Irian
Barat seluruhnya atau sebagian kepada
Indonesia setelah berakhirnya fase pertama pada 1 Mei 1963. Dalam Gie &
Istanto (1968: 61) dijelaskan, dalam Aide Memoire dari sekertaris jenderal PBB
tanggal 31 Juli 1962 kepada pihak Indonesia dan tanggal 15 Agustus 1962 kepada
pihak Belanda ditegaskan bahwa penyerahan kekuasaan kepada Indonesia akan
dilakukan secepat mungkin sesudah tanggal 1 Mei 1963. Setelah hampir 3 bulan
UNTEA menyerahkan pemerintahan di Irian Barat, dalam Desember 1962 dikalangan
penduduk mulailah timbul suara-suara agar masa pemerintahan UNTEA diperpendek
dan penyerahan pemerintahan kepada Republik Indonesia diperccepat. Sebuah
delegasi 7 orang penduduk Irian Barat yang dipimpin oleh E.J. Bonay mendesak
agar kekuasaan pemerintahan Irian Barat kepada Republik Indonesia sebelum
tanggal 31 Desember 1962. Delegasi tersebut menyampaikan usulannya kepada
pemerintah Indonesia di Jakarta, pemerintah Belanda dan sekretaris jenderal
Perserikatan Bangsa Bangsa di New York. Dinegeri Belanda Perdan Menteri De Quay
menyatakan bahwa Pemerintah Belanda Tidak dapat enerima usul delegasi penduduk
Irian Barat itu karena Persetujuan New York yang menetapkan penyerahan
pemerintahan Irian Barat pada bulan Mei 1963 harus tetap di hargai.
Dalam
bulan berikutnya terjadilah demonstrasi rakyat Irian Barat berturut-turut di
Kota baru, Manokwari, Ransiki, Biak, Merauke, Enarotali dan Kokonao yang
menuntut perpendekan masa pemerintahan UNTEA. Demonstrasi di Kota Baru pada
tanggal 14 Januari 1963, menyampaikan sebuahh pernyataan yang ditandatangani
oleh 18 pemimpin rakyat Irian Barat kepada adsminitrator UNTEA Dr. Djalal Abdoh
yang berbunyi sebagai berikut:
Kami
rakyat daerah Irian Barat dengan ini menyatakan:
1.
Menuntut perpendekan pemerintah UNTEA.
2.
Menggabung segera kepada Republik Indonesia secara mutlak dan tanpa syarat.
3.
Setia kepada Proklamasi 17 Agustus 45.
4.
Menghendaki adanya kesatuan yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
5.
Menghendaki otonomi yang seluas-luasnya dalam Republik Indonesia bagi
wilayah Irian Barat.
Dari pihak
Pemerintah Republik Indonesia telah pula diperjuangkan agar masa pemerintahan
ENTEA di Irian Barat dipersingkat. Tapi pihak Belanda menolak untuk mengadakan
perubahan terhadap apa yang telah disetujui. Sekretaris jenderal PBB sendiri
pada akhir Januari 1963 menerangkan bahwa penyingkatan masa pemerintahan UNTEA
tidak bisa dilaksanakan karena persetujuan Indonesia-Belanda harus dipatuhi.
Walaupun demikian untuk menaggapi keinginan rakyat Irian Barat dan Pemerintah
Republik Indonesiaitu, Sekretaris Jenderal PBB U Tanth dalam minggu pertama
Februari 1963 mengirim kepala kabinetnya Narasimhan ke Jakarta dan Kotabaru
dengan tugas menjamin pengalihan yang selancar mungkin dari pemerintah di Irian
Barat.
Sesuai
dengan keputusan yang telah diumumkan oleh Narasimhan di awal, pada 14 Februari
1963 PBB di New York mengumumkan rencana terperinci mengenai penyerahan
kekuasaan kepada Indonesia. Menurut rencanan itu pada 16 April 1963 pasukan
Indonesia akan berangsur-angsur menggantikan pasukan Pakistan dan serah terima
tugas keamanan itu diharapkan selesai seluruhnnya pada 1 Mei, pejabat-pejabat
Belanda akan digantikan oleh tenaga-tenaga Indonesia paling lambat 31 Maret
1963. Demikianlah pada tanggal 1 Mei 1963 pagi hari di Kotabaru, Irian Barat
berlangsunglah penyerahan kekuasaan pemerintahan sepenuhnya Irian Barat dari
UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia. penyerahan kekuasaan pemerintahan
atas Irian Bartat itu diterima oleh wakil pemerintah Republik Indonesia,
Sudjarwo Tjondronegoro SH.
Ø
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
Sebagai salah satu kewajiban
pemerintah Republik Indonesia menurut persetujuan New York, adalah pemerintah
RI harus mengadakan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat paling lambat
akhir tahun 1969. pepera ini untuk menentukan apakah rakyat Irian Barat
memilih, ikut RI atau merdeka sendiri. Penentuan pendapat Rakyat akhirnya
dilaksanakan pada tanggal 24 Maret sampai dengan 4 Agustus 1969.Mereka diberi
dua opsi, yaitu : bergabung dengan RI atau merdeka sendiri.
Setelah Pepera dilaksanakan,
Dewan Musyawarah Pepera mengumumkan bahwa rakyat Irian dengan suara bulat
memutuskan Irian Jaya tetap merupakan bagian dari Republik Indoenesia. Hasil
ini dibawa Duta Besar Ortiz Sanz untuk dilaporkan dalam sidang
umum PBB ke 24 bulan Nopember 1969. Sejak saat itu secara de yure Irian Jaya
sah menjadi milik RI.
Dengan menganalisa fakta-fakta
pembebasan Irian Barat sampai kemudian dilaksanakan Pepera, dapat diambil
kesimpulan bahwa Pepera mempunyai arti yang sangat penting bagi pemerintah
Indonesia, yaitu :
2.
bukti bahwa pemerintah Indonesia dengan merebut
Irian Barat melalui konfrontasi bukan merupakan sebuah tindakan aneksasi /
penjajahan kepada bangsa lain, karena secara sah dipandang dari segi de facto
dan de jure Irian Barat merupakan bagian dari wilayah RI.
3.
upaya keras pemerintah Ri merebut kembali Irian
Barat bukan merupakan tindakan sepihak, tetapi juga mendapat dukungan dari
masyarakat Irian Barat. Terbukti hasil Pepera menyatakan rakyat Irian ingin
bergabung dengan Republik Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sejarah Bangsa Indonesia memasuki babak baru ketika pada
tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta atas nama bangsa
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun setelah bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya, Belanda datang kembali dengan tujuan menguasai
wilayah Indonesia dengan cara membonceng sekutu. Namun Bangsa yang yang
bermaksud menjajah kembali Indonesia menghadapi kenyataan bahwa daerah bekas
jajahannya telah berdiri Negara Republik Indonesia. Belanda mempertahankan
Papua berdasarkan beberapa faktor, selain ketidakmatangan orang Papua untuk
melaksanakan nasib sendir, juga kolonisasi orang-orang Indo Belanda, keuntungan
ekonomi yang mungkin dapat diperoleh, dan perspektif politik kemiliteran.
Perdebatan Indonesia dengan Belanda menunjukkan bahwa status Papua merupakan
soal yang sangat sulit selama dalam KMB.
3.2
Saran
Saran saya peruntukkan untuk semua pembacaa makalah ini
agar lebih dapat menghargai jerih payah
hasil kemerdekaan yang telah diperjuangkan.
DAFTAR RUJUKAN
Gie The L & Istanto S. 1968. Pertumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian Barat dan
Kemungkinan-Kemungkinan Perkembangan Otonominya dihari kemudian Djilid 1.
Yogyakarta: FISIP UGM.
Koentjaraningrat
& Bachtiar H. 1963. Penduduk Irian
Barat. Jakarta: P.T Penerbitan Universitas.
Materay, B. 2012. Nasionalisme
Ganda Orang Papua. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Mustopo,
dkk. 1986. Api Perjuangan Pembebasan
Irian Barat. Jakarta: Yayasan Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian
Barat.
Poesponegoro,
M.D., dkk. 1984. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid VI. Jakarta:
Balai Pustaka.
Widhi. 2010. Perjuangan Bangsa Indonesia. (Online),
(Sejarahblog.blogspot.com), Diakses 13 Oktober
2013, Pukul 05.06 PM
trims... :)
BalasHapus