Total Tayangan Halaman

Jumat, 25 Oktober 2013

Perkembangan Saudi Arabia dari Masa Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud) Hingga Menjadi Negara Petro Dollar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Arab Saudi merupakan suatu negara yang terletak di Asia Barat Daya, yang tepatnya di Semenanjung Arab. Berdasarkan letak lintangnya, Arab Saudi mengalami dua macam iklim, yaitu iklim tropis (dialami di daerah bagian selatan) dan iklim subtropis (dialami daerah bagian utara). Curah hujan di Arab Saudi cukup rendah dan bervariasi. Sekitar 90% wilayah Arab Saudi mendapat hujan rata-rata hanya 100 mm setahun. Bahkan, beberapa bagian di gurun Rub Al-Khali tidak pernah terjadi hujan. Angin yang bertiup tidak merata. Di bagian timur berembus angin Shamal yang bertiup dari timur laut. Angin ini terkenal karena menimbulakan topan pasir.
Hasil utama pertambangannya adalah minyak bumi dan gas alam. Negara Arab Saudi merupakan negara terbesar pengekspor minyak bumi di dunia. Negara ini terkenal dengan negara "Petro Dolar" karena hampir sebagian besar sumber devisa negaranya berasal dari penjualan minyak. Ladang-ladang minyak utamanya terdapat di daerah Dammam, Dahran, Ghawar, Abqaq, Hassa, dan Riyadh. Pelabuhan minyak utamanya terdapat di kota Restanura tepatnya di Teluk Persia. Pelabuhan lainnya terdapat di Ad Damman dan Jeddah. Jenis penindustrian utamanya yaitu industri minyak, industri desalinasi (pengolahan air laut menjadi air tawar), industri petro kimia, peleburan alumunium, semen metanol, pupuk, baja, LNG dan pengolahan biji besi. Pusat perindustriannya di kota Yanbo (tepi laut) dan kota jubail (di daerah pantai timur) (Gistiyan, 2009).
Berdirinya kerajaan Saudi tidak lepas dari pengaruh Wahhabisme yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari keduanya karena, keduanya saling mendukung dan kelangsungan hidup keduanya tergantung padanya. Sehingga keluarga Saud yang menyebarkan paham Wahhabi keseluruh penjuru dunia. Wahabisme sangat tidak toleran terhadap paham Islam lainnya, seperti terhadap Syi’ah dan Sufisme (Tasawuf). Wahabisme juga menumbuhkan rasialisme Arab pada pengikut mereka. Tentu saja rasialisme bertentangan dengan konsep Ummah Wahidah di dalam Islam. Wahhabisme juga memproklamirkan bahwa hanya dia sajalah ajaran yang paling benar dari semua ajaran-ajaran Islam yang ada, dan siapapun yang menentang Wahabisme dianggap telah melakukan bid’ah dan kafir. Kerajaan Inggrislah yang sebenarnya memberikan jalan untuk munculnya Wahhabisme ini. Hal tersebut dikarenakan Inggris ingin menjatuhkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki. Tetapi pada kepemimpinan Ibnu Saud inilah Arab Saudi mencapai kemerdekaannya hingga menjadi negara Petro dollar. Dari beberapa ulasan diatas, singga penulis mengambil judul “Perkembangan Saudi Arabia dari Masa Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud) hingga Menjadi Negara Petro Dollar”.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah perkembangan Arab Saudi pada masa Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud)?
2.      Bagaimanakah perkembangan Arab Saudi sebagai negara petro dollar?

1.3.Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui perkembangan Arab Saudi pada masa Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud)
2.      Mengetahui perkembangan Arab Saudi sebagai negara petro dollar





BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Arab Saudi pada masa Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud)
Dalam bangsa Arab, terdapat persaingan antar kabilah yang masih terjadi. Penyebab persaingannya itu adalah wilayah kekuasaan, aliran agama serta penguasaan kota suci Mekkah-Madinah. Persaingan makin tajam dengan adanya gerakan wahhabi yang didukung Suud dan kemudian adanya campur tangan Turki Usmanli, Inggris dan Perancis.
Kepemimpinan oleh keluarga Rasyid digantikan oleh keluarga Suud. Berawal ketika Muhammad bin Talal (bani Rasyid) menyerah kepada as Suud (1921). Menurut Soepratignyo dan Supratini (1995:78) Hancurnya keluarga Rasyid disebabkan karena; pertama, adanya pertengkaran memperebutkan pimpinan, buktinya selama 90 tahun terjadi 14 kali pergantian. Kedua, pengikutnya terutama para pedagang bosan dengan pertengkaran tersebut, sehingga lebih memilih untuk membantu as Suud. Ketiga, keberanian pasukan as Suud penganut ajaran Wahhabi, yaitu pasukan al Ikhwan.
Pada tahun 1905 Turki Usmanli mengakui Abdul Aziz as Suud sebagai penguasa di Nejd, sebab as Rasyid telah terusir di Irak. Tetapi dalam perang Jerabah (1915), as Rasiyd menang dan karena kekalahan ini Inggris mendukung kembali Hussein yang memproklamirkan kermerdekaan Hejaz (1916). Abdul Aziz menyerang dan menantang Mekkah. Dalam pertempuran di Karabah (1919) pasukan Husein kalah, bahkan pada 1924 Mekkah dikuasai as Suud (Soepratignyo & Sumartini, 1995: 79). Raja-raja yang pernah memimpin Saudi adalah Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud) (1932-1953), Raja Saud (1953-1964), Raja Faisal (1964-1975), Raja Khalid (1975-1982), Raja Fahd (1982-2005), Raja Abdullah (2005-). Raja-raja Arab Saudi tidak dipilih berdasarkan keturunan, melainkan berdasarkan kemampuan mereka. Pengganti Raja Fahd, misalnya, bukanlah anaknya, melainkan saudara Raja Fahd, Abdullah. Meskipun begitu, hingga kini semua Raja setelah Abdul Aziz masih berasal dari lingkungan keluarga; semua Raja adalah putra-putranya.
Menjelang berakhirnya perang dunia I, pergerakan nasional terbagi menjadi berbagai macam aliran. Sehingga Arab terbagi menjadi berbagai syeikh, amir dan pemimpin-pemimpin. Tetapi tidak ada yang memiliki kekuatan penting. Pada dekade berikutnya, muncullah Ibnu Saud sebagai suatu kekuatan yang dominan di Arab dan kerajaan Saudi menjadi yang terbesar dan terkuat di Semenanjung Arabia. Pusat dari sentimen nasional Arab ialah Syria – Syria, Palestina dan Lebanon (Soeparyo, 1977:128).
Secara resmi, negara ini memperingati kemerdekaannya pada tanggal 23 September. Pada saat itulah, tahun 1932, Abdul Aziz dikenal juga dengan sebutan Ibnu Saud memproklamirkan berdirinya Kerajaan Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah). Abdul Aziz pada saat itu berhasil menyatukan dinastinya; menguasai Riyad, Nejed, Ha-a, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz juga berhasil mempolitisasi pemahaman Wahabi untuk mendukung kekuatan politiknya. Sejak awal, Dinasti Suud secara terbuka telah mengumumkan dukungannya dan mengadopsi penuh ide Wahabi yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan Gerakan Wahabi. Dukungan ini kemudian menjadi kekuatan baru bagi Dinasti Suud untuk melakukan perlawanan terhadap Khilafah Islamiyah.
Hanya saja, keberhasilan Dinasti Suud ini tidak lepas dari bantuan Inggris. Mereka bekerjasama untuk memerangi pemerintahan Khilafah Islamiyah. Sekitar tahun 1792-1810 M, dengan bantuan Inggris mereka berhasil menguasai beberapa wilayah di Damaskus. Hal ini membuat Khilafah Islamiyah harus mengirim pasukannya untuk memadamkan pemberontakan ini. Fase pertama, pemberontakan Dinasti Suud berhasil diredam setelah pasukan Khilafah Islamiyah berhasil merebut kota ad-Diriyah.
Namun kemudian, beberapa tahun kemudian, Dinasti Suud, di bawah pimpinan Abdul Aziz bin Abdurrahman, berupaya membangun kembali kekuataannya. Apalagi pada saat itu, Daulah Khilafah Islamiyah semakin melemah. Pada tahun 1902, Abdul Aziz menyerang dan merebut kota Riyadh dengan membunuh walinya (Gubernur Khilafah ar-Rasyid). Pasukan Aziz terus melakukan penaklukan dan membunuh pendukung Khilafah Utsmaniyah dengan bantuan Inggris.
Salah satu sahabat dekat Abdul Aziz Abdurrahman adalah Harry St. John Pilby, yang merupakan agen Inggris. Philby menjuluki Abdul Aziz bin Abdurrahman sebagai “Seorang Arab yang Beruntung”, sementara Abdul Aziz menjulukinya dengan “Bintang Baru dalam Cakrawala Arab”. Philby adalah orang Inggris yang ahli Arab yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Keluarga Suud sejak misi pertamanya ke Nejd pada tahun 1917. Pada tahun 1926, Philby tinggal di Jeddah. Dikabarkan kemudian, Philby masuk Islam dan menjadi anggota dewan penasihat pribadi Raja pada tahun 1930. (Lenczowsky dalam Zadan, 2010).
Kerjasama Dinasti Suud dengan Inggris tampak dalam perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Perjanjian itu, yang dirundingkan oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas ‘kemerdekaan lengkap dan mutlak’ Ibnu Saud, hubungan non-agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Saud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk, serta kerjasama dalam menghentikan perdagangan budak. Dengan perlindungan Inggris ini, Abdul Aziz (yang dikenal dengan Ibnu Saud) merasa aman dari berbagai rongrongan.

PERSAHABATAN DENGAN AS
Persahabatan Saudi dengan AS diawali dengan ditemukannya ladang minyak di negara itu. Pada 29 Mei 1933, Standart Oil Company dari California memperoleh konsesi selama 60 tahun. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company pada tahun 1934. Pada mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan Saudi. Namun, setelah melihat potensi besar minyak negara tersebut, AS dengan agresif berusaha merangkul Saudi. Pada tahun 1944, Deplu AS menggambarkan daerah tersebut sebagai, sumber yang menakjubkan dari kekuatan strategi dan hadiah material yang terbesar dalam sejarah dunia (Zadan, 2010).
Untuk kepentingan minyak, secara khusus wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt (April 1941) untuk mendorong pemerintah AS memberikan pinjaman utang kepada Saudi. Utang inilah yang kemudian semakin menjerat negara tersebut menjadi budak AS. Pada tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS memberikan pinjaman kepada Saudi sebesar $10 juta dolar. Tidak hanya itu, AS juga terlibat langsung dalam membangun Saudi menjadi negara modern, antara lain dengan memberikan pinjaman sebesar $100 juta dolar untuk pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan ibukota dengan pantai timur dan barat. Tentu saja, utang ini kemudian semakin menjerat Saudi.
Konsesi lain dari persahabatan Saudi-AS ini adalah penggunaan pangkalan udara selama tiga tahun oleh AS pada tahun 1943 yang hingga saat ini terus dilanjutkan. Pangkalan Udara Dhahran menjadi pangkalan militer AS yang paling besar dan lengkap di Timur Tengah. Hingga saat ini, pangkalan ini menjadi basis strategis AS, terutama saat menyerang negeri Muslim Irak dalam Perang Teluk II. Penguasa keluarga Kerajaan Saudi dengan sukarela membiarkan wilayahnya dijadikan basis AS untuk membunuhi sesama saudara Muslim. AS pun kemudian sangat senang dengan kondisi ini.
Pada tahun 1947, saat Putra Mahkota Emir Saud berkunjung ke AS, dia menerima penghargaan Legion of Merit atas jasanya kepada sekutu selama perang. Hingga saat ini, persahabatan AS dan Saudi terus berlanjut walaupun harus menyerahkan loyalitasnya kepada AS dan membunuh sesama Muslim.
Kecuali Raja Faishal, Raja Khalid, Raja Fahd dan Raja Abdullah adalah patner utama USA, mulai dari hobi belanja pribadi, belanja perlengkapan perang hingga plesiran, Amerika adalah menu dan venue utamanya. Di Amerika mereka adalah tamu agung yg paling dihormati dengan basa-basi kesopanan yg luar biasa tinggi. Maklum, pasar senjata utama dan sumber minyak utama berasal dari jubah para Khalifah ini.
Setelah resolusi PBB mengenai pemecahan Palestina dan pendirian Israel, Pangeran Faisal (masih belum menjadi raja) mendesak ayahnya supaya memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat, tetapi desakannya itu ditolak. Selepas skandal keuangan Raja Saud, Pangeran Faisal dilantik menjadi pemerintah sementara. Pada tanggal 3 November 1964, ia dilantik menjadi raja setelah Raja Saud di usir keluar dari Arab Saudi ke Yunani. Raja Faishal adalah  Raja yg pernah mengharubirukan kebijakan global dengan “OIL BOMB”.
“OIL BOMB” adalah kebijakan yg diambil ketika terjadi perang YOM KIPPUR. Pada tanggal 17 Oktober 1973, ia menghentikan ekspor minyak Arab Saudi ke Amerika Serikat yang menyebabkan harga minyak di Amerika Serikat melambung tinggi. Hal ini dilakukan untuk mendesak Amerika Serikat agar menekan Israel keluar dari wilayah Palestina (Budi, 2010).
2.2. Arab Saudi sebagai negara petro dollar
Text Box:  
Peta Arab Saudi
Negara Petro dolar adalah semua negara di Timur tengah yang kaya akan minyak. Dengan kekayaannya inilah Saudi berhasil memodernisasi negaranya. Membeli saham perusahaan atau membeli perumahan mewah di Barat. Warganya bebas biaya pendidikan dan kesehatan. Perubahan ini dimulai sekitar 1960 dan mencuat pada tahun1973 ketika minyak dipakai senjata embargo dalam perang Arab-Israel keempat. Selain Saudi Arabia, negara petro dollar adalah : Irak, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Iran.
Minyak pertama kali diketemukan di al Hasa, dekat teluk Persia dan pada 1944 berdiri ARAMCO (Arabian American Oil Company), teryata jazirah Arab yang kering kerontang itu menyimpan emas hitam, terutama dibagian timurnya  (Hasa). Berlomba-lomba perusahaan Barat mencari konsensi (hak guna usaha) di Negara Arab lainnya. Dengan kekayaan minyak ini diadakan pembangunan secara besar-besaran, tetapi karena kekurangan tenaga ahli  dan terpaksa mendatangkan dari luar negeri
Berbagai perusahaan berebutan proyek pembangunan datang dari Amerika, Eropa dan Asia. Dari Asia adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Plihipina, Indonesia. Proyek dan kehidupan yang mapan di Saudi Arabia memerlukan tenaga yang banyak.
Sistem bagi hasil 50:50 pada ARAMCO, teryata harganya dipermainkan dan merugikan Saudi Arabia. Harga jual minyak mentah sampai 1959 sekitar dua dollar As per barel (1 Barel sama dengan 156 liter). Negara industry di Barat  dan Jepang 80 persen dari Timur Tengah. Agar harganya stabil dan tidak dipermainkan kaum Kapitalis pada tahun 1960 didirikan OPEC (Organization Petroleum Eksporter Country) di Bagdad, oleh Saudi Arabia,  Iran,  Kuawait, Irak, Venezuela. OPEC dapat menentukan besar kecilnya produksi serta harga jualnya, sehingga tidak merugikan produsen.
Istilah Petro dollar popular tahun 1973 setelah benteng Yan Kippur  di seberang Suez dihancurkan Mesir secara mendadak. Blok Barat, Terutama America Serikat membantu Israel, Blok Arab dan OPEC mengantisipasi dengan senjata minyak. Produksi diturunkan sedang harga dinaikkan dan memboikot negara yang membantu Israel. Blok barat bingung karena Industrinya terancam apalagi memngahadapi musim dingin. Akibatanya melalui PBB Blok Barat mengupayakan gencatan senjata dan berhasil. Sebabnya Blok Arab setuju karena Israel mampu bertahan , bahkan  dapat merebut benteng Yon Kippur.
Selain untuk biaya pembangunan, Saudi Arab membantu perjaungan melawan Israel, terutama yang terlibat perang secara langsung (Mesir, Yordania, Libanon, Syria), juga terhadap PLO. Sikap moderat dan membentuk monarki. Apalagi Iran (juga Libya) menuntut agar Mekah-Madinah menjadi kota internasional umat Islam. Pada 1982  Masjidil Haram, diduduki kelompok anti Monarki sekitar 300 orang dipimpin Abdullah  Al-Qahtani (Muhammad Al Quraishi) yang mengaku Imam Mahdi. Pasukan pemerintah berhasil merebut masjidil Haram, sisa pemberontak yang hidup di hukum mati. Sedang korban dipihak pemerintah Saudi Arabia 127 tewas dan 461 luka-luka. Kemudian pada 1987 terjadi demontrasi jamaah Iran, terjadi konflik fisik dengan polisi, akibatnya yang tewas sekitar  600 orang. Itulah sebabnya Saudi Arabia membatasi (kuota) jemaah haji Iran sampai 150.000.
Kehidupan sosial berubah makin maju, terbukti pada 1962 perbudakan di larang. Beasiswa diberikan pada pemuda yang melanjutkan pendidikannya ke luar Negeri, tetapi wanita itu dilarang. Olahraga yang sangat digemari adalah sepak bola, pacuan kuda dan unta. Dalam Asian Games di Hiroshima, Saudi menduduki ranking ke-16, prestasi yang cukup baik.
Dalam perang Irak-Iran, Saudi Arabia membantu dana persenjataan bagi Sadam Husein (demikian juga Kuwait). Ketika Irak menyerbu Kuwait (1990) pasukan Internasional PBB (Amerika Serikat) mengusir Irak dari Kuwait (sebelumnya ada kerja sama militer sehingga Amerika serikat  menempatkan pasukan di Dahran, daerah al-Hasa) demikian juga ketika Irak mengancam Kuwait (oktober 1994), pasukan Saudi Arabia dan Amerika serikat  diperkuat di Dahran dan perbatasan Iran.




BAB III
PENUTUP
3. 1.        Kesimpulan
Arab Saudi mengalami perkembangan pada masa Raja Abdul Aziz atau biasa yang disebut dengan Ibnu Saud. Terbentuknya kerajaan Saudi ini tidak lepas dari pengaruh Inggris hal ini karena Ibnu Saud menganut ajaran Wahhabi yang sangat berbeda dengan ajaran yang dianut oleh masyarakat setempat. Wahhabi ini merupakan ajaran yang didukung dan diberikan jalan oleh kerajaan Inggris. Hal ini dikarenakan Inggris ingin menjatuhkan Islam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki.
Persahabatan Arab Saudi dengan Amerika Serikat berawal ketika mulai ditemukannya ladang minyak yang memiliki potensi besar  disana. Untuk kepentingan minyak, pemerintah Amerika Serikat memberikan pinjaman kepadaArab Saudi. Hal ini yang semakin menjerat Arab Saudi menjadi budak Amerika Serikat.
Di Arab Saudi menyimpan emas hitam, terutama dibagian timurnya (Hasa). Sehingga pada tahun 1944 didirikanlah ARAMCO (Arabian American Oil Company). Dengan kekayaan minyak ini diadakan pembangunan secara besar-besaran, tetapi karena kekurangan tenaga ahli  dan terpaksa mendatangkan dari luar negeri. Istilah Petro dollar popular tahun 1973 setelah benteng Yan Kippur  di seberang Suez dihancurkan mesir secara mendadak. Arab Saudi sebagai negara yang kaya akan emas hitamnya sehingga dapat membantu negara-negara yang sedang mengalami perang.

3. 2.        Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dikaji maka penulis berharap kepada:
·         Dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Asia Barat Daya untuk memperbaiki dan melengkapi makalah apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam mengutip isi makalah.
·         Semua mahasiswa Jurusan pendidikan sejarah untuk lebih banyak membaca buku tentang Sejarah Asia Barat Daya agar banyak memperoleh pengetahuan tentang Sejarah Arab Saudi.


DAFTAR RUJUKAN
Soeparyo, Warsito. 1977. Sejarah Timur Tengah Modern. Malang: IKIP Malang.
Soepratignyo & Sumartini, Sri. 1995. Sejarah Asia Barat Daya. Malang: IKIP Malang.
Budi. 2012. Petro Dolar, (Online), (http://budicanggih.wordpress.com/2012/11/03 /petro-dolar/, diakses 16 April 2013).
Gistiyan, Rizky. 2009. Arab Saudi, (Online), (http://rizkygistiyan.blogspot.com/ 2009/12/arab-saudi.html).
Zadan. 2010. Arab Saudi dan Keluarga Sa’ud, (Online), (http://zadandunia. Blogspot.com/2010/11/arab-saudi-dan-keluarga-saud.html, diakses 16 April 2013).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar