Perkembangan Saudi Arabia dari Masa
Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud) Hingga Menjadi Negara Petro Dollar
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Arab
Saudi merupakan suatu negara yang terletak di Asia Barat Daya, yang tepatnya di
Semenanjung Arab. Berdasarkan letak lintangnya, Arab Saudi mengalami dua
macam iklim, yaitu iklim tropis (dialami di daerah bagian selatan) dan iklim
subtropis (dialami daerah bagian utara). Curah hujan di Arab Saudi cukup rendah
dan bervariasi. Sekitar 90% wilayah Arab Saudi mendapat hujan rata-rata hanya
100 mm setahun. Bahkan, beberapa bagian di gurun Rub Al-Khali tidak pernah
terjadi hujan. Angin yang bertiup tidak merata. Di bagian timur berembus angin
Shamal yang bertiup dari timur laut. Angin ini terkenal karena menimbulakan
topan pasir.
Hasil utama pertambangannya adalah minyak bumi dan gas alam. Negara Arab
Saudi merupakan negara terbesar pengekspor minyak bumi di dunia. Negara ini
terkenal dengan negara "Petro Dolar" karena hampir sebagian besar
sumber devisa negaranya berasal dari penjualan minyak. Ladang-ladang minyak
utamanya terdapat di daerah Dammam, Dahran, Ghawar, Abqaq, Hassa, dan Riyadh.
Pelabuhan minyak utamanya terdapat di kota Restanura tepatnya di Teluk Persia.
Pelabuhan lainnya terdapat di Ad Damman dan Jeddah. Jenis penindustrian utamanya yaitu industri minyak, industri
desalinasi (pengolahan air laut menjadi air tawar), industri petro kimia,
peleburan alumunium, semen metanol, pupuk, baja, LNG dan pengolahan biji besi. Pusat
perindustriannya di kota Yanbo (tepi laut) dan kota jubail (di daerah pantai
timur) (Gistiyan, 2009).
Berdirinya kerajaan Saudi tidak lepas dari pengaruh Wahhabisme
yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari keduanya karena, keduanya
saling mendukung dan kelangsungan hidup keduanya tergantung padanya. Sehingga
keluarga Saud yang menyebarkan paham Wahhabi keseluruh penjuru dunia. Wahabisme sangat tidak toleran terhadap paham Islam lainnya, seperti
terhadap Syi’ah dan Sufisme (Tasawuf). Wahabisme juga menumbuhkan rasialisme Arab pada pengikut
mereka. Tentu saja rasialisme bertentangan dengan konsep Ummah
Wahidah di dalam Islam. Wahhabisme juga memproklamirkan bahwa hanya
dia sajalah ajaran yang paling benar dari semua ajaran-ajaran Islam yang ada,
dan siapapun yang menentang Wahabisme dianggap telah melakukan bid’ah dan kafir.
Kerajaan Inggrislah yang sebenarnya memberikan jalan untuk munculnya Wahhabisme
ini. Hal tersebut dikarenakan Inggris ingin menjatuhkan Islam dari dalam dan
meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki. Tetapi pada kepemimpinan
Ibnu Saud inilah Arab Saudi mencapai kemerdekaannya hingga menjadi negara Petro
dollar. Dari beberapa ulasan diatas, singga penulis mengambil judul “Perkembangan Saudi
Arabia dari Masa Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud) hingga Menjadi Negara Petro Dollar”.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
perkembangan Arab Saudi pada masa Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud)?
2.
Bagaimanakah
perkembangan Arab Saudi sebagai negara petro dollar?
1.3.Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
perkembangan Arab Saudi pada masa Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud)
2.
Mengetahui
perkembangan Arab Saudi sebagai negara petro dollar
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Arab Saudi pada masa Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud)
Dalam bangsa Arab, terdapat
persaingan antar kabilah yang masih terjadi. Penyebab persaingannya itu adalah
wilayah kekuasaan, aliran agama serta penguasaan kota suci Mekkah-Madinah.
Persaingan makin tajam dengan adanya gerakan wahhabi yang didukung Suud dan
kemudian adanya campur tangan Turki Usmanli, Inggris dan Perancis.
Kepemimpinan oleh keluarga Rasyid
digantikan oleh keluarga Suud. Berawal ketika Muhammad bin Talal (bani Rasyid)
menyerah kepada as Suud (1921). Menurut Soepratignyo dan Supratini (1995:78)
Hancurnya keluarga Rasyid disebabkan karena; pertama, adanya pertengkaran
memperebutkan pimpinan, buktinya selama 90 tahun terjadi 14 kali pergantian.
Kedua, pengikutnya terutama para pedagang bosan dengan pertengkaran tersebut,
sehingga lebih memilih untuk membantu as Suud. Ketiga, keberanian pasukan as
Suud penganut ajaran Wahhabi, yaitu pasukan al Ikhwan.
Pada tahun 1905 Turki Usmanli
mengakui Abdul Aziz as Suud sebagai penguasa di Nejd, sebab as Rasyid telah
terusir di Irak. Tetapi dalam perang Jerabah (1915), as Rasiyd menang dan
karena kekalahan ini Inggris mendukung kembali Hussein yang memproklamirkan
kermerdekaan Hejaz (1916). Abdul Aziz menyerang dan menantang Mekkah. Dalam
pertempuran di Karabah (1919) pasukan Husein kalah, bahkan pada 1924 Mekkah
dikuasai as Suud (Soepratignyo & Sumartini, 1995: 79). Raja-raja yang
pernah memimpin Saudi adalah Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud) (1932-1953), Raja Saud (1953-1964), Raja Faisal (1964-1975), Raja Khalid (1975-1982), Raja Fahd (1982-2005), Raja Abdullah (2005-). Raja-raja Arab Saudi tidak
dipilih berdasarkan keturunan, melainkan berdasarkan kemampuan mereka.
Pengganti Raja Fahd, misalnya, bukanlah anaknya, melainkan saudara Raja Fahd,
Abdullah. Meskipun begitu, hingga kini semua Raja setelah Abdul Aziz masih
berasal dari lingkungan keluarga; semua Raja adalah putra-putranya.
Menjelang berakhirnya perang
dunia I, pergerakan nasional terbagi menjadi berbagai macam aliran. Sehingga
Arab terbagi menjadi berbagai syeikh, amir dan pemimpin-pemimpin. Tetapi tidak
ada yang memiliki kekuatan penting. Pada dekade berikutnya, muncullah Ibnu Saud
sebagai suatu kekuatan yang dominan di Arab dan kerajaan Saudi menjadi yang
terbesar dan terkuat di Semenanjung Arabia. Pusat dari sentimen nasional Arab
ialah Syria – Syria, Palestina dan Lebanon (Soeparyo, 1977:128).
Secara resmi, negara ini
memperingati kemerdekaannya pada tanggal 23 September. Pada saat itulah, tahun
1932, Abdul Aziz dikenal juga dengan sebutan Ibnu Saud memproklamirkan
berdirinya Kerajaan Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah). Abdul
Aziz pada saat itu berhasil menyatukan dinastinya; menguasai Riyad, Nejed, Ha-a,
Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz juga berhasil mempolitisasi pemahaman Wahabi untuk
mendukung kekuatan politiknya. Sejak awal, Dinasti Suud secara terbuka telah
mengumumkan dukungannya dan mengadopsi penuh ide Wahabi yang dicetuskan oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan Gerakan Wahabi.
Dukungan ini kemudian menjadi kekuatan baru bagi Dinasti Suud untuk melakukan
perlawanan terhadap Khilafah Islamiyah.
Hanya saja, keberhasilan Dinasti
Suud ini tidak lepas dari bantuan Inggris. Mereka bekerjasama untuk memerangi
pemerintahan Khilafah Islamiyah. Sekitar tahun 1792-1810 M, dengan bantuan
Inggris mereka berhasil menguasai beberapa wilayah di Damaskus. Hal ini membuat
Khilafah Islamiyah harus mengirim pasukannya untuk memadamkan pemberontakan
ini. Fase pertama, pemberontakan Dinasti Suud berhasil diredam setelah pasukan
Khilafah Islamiyah berhasil merebut kota ad-Diriyah.
Namun kemudian, beberapa tahun
kemudian, Dinasti Suud, di bawah pimpinan Abdul Aziz bin Abdurrahman, berupaya
membangun kembali kekuataannya. Apalagi pada saat itu, Daulah Khilafah
Islamiyah semakin melemah. Pada tahun 1902, Abdul Aziz menyerang dan merebut
kota Riyadh dengan membunuh walinya (Gubernur Khilafah ar-Rasyid). Pasukan Aziz
terus melakukan penaklukan dan membunuh pendukung Khilafah Utsmaniyah dengan
bantuan Inggris.
Salah satu sahabat dekat Abdul
Aziz Abdurrahman adalah Harry St. John Pilby, yang merupakan agen Inggris.
Philby menjuluki Abdul Aziz bin Abdurrahman sebagai “Seorang Arab yang
Beruntung”, sementara Abdul Aziz menjulukinya dengan “Bintang Baru dalam
Cakrawala Arab”. Philby adalah orang Inggris yang ahli Arab yang telah lama
menjalin hubungan baik dengan Keluarga Suud sejak misi pertamanya ke Nejd pada
tahun 1917. Pada tahun 1926, Philby tinggal di Jeddah. Dikabarkan kemudian,
Philby masuk Islam dan menjadi anggota dewan penasihat pribadi Raja pada tahun
1930. (Lenczowsky dalam Zadan, 2010).
Kerjasama Dinasti Suud dengan
Inggris tampak dalam perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah
(20 Mei 1927). Perjanjian itu, yang dirundingkan oleh Clayton, mempertegas
pengakuan Inggris atas ‘kemerdekaan lengkap dan mutlak’ Ibnu Saud, hubungan
non-agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Saud atas kedudukan Inggris di
Bahrain dan di keemiran Teluk, serta kerjasama dalam menghentikan perdagangan
budak. Dengan perlindungan Inggris ini, Abdul Aziz (yang dikenal dengan Ibnu Saud)
merasa aman dari berbagai rongrongan.
PERSAHABATAN
DENGAN AS
Persahabatan Saudi dengan AS
diawali dengan ditemukannya ladang minyak di negara itu. Pada 29 Mei 1933,
Standart Oil Company dari California memperoleh konsesi selama 60 tahun.
Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company pada tahun
1934. Pada mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan Saudi. Namun,
setelah melihat potensi besar minyak negara tersebut, AS dengan agresif
berusaha merangkul Saudi. Pada tahun 1944, Deplu AS menggambarkan daerah
tersebut sebagai, sumber yang menakjubkan dari kekuatan strategi dan hadiah
material yang terbesar dalam sejarah dunia (Zadan, 2010).
Untuk kepentingan minyak, secara
khusus wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt
(April 1941) untuk mendorong pemerintah AS memberikan pinjaman utang kepada
Saudi. Utang inilah yang kemudian semakin menjerat negara tersebut menjadi
budak AS. Pada tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS memberikan pinjaman kepada
Saudi sebesar $10 juta dolar. Tidak hanya itu, AS juga terlibat langsung dalam
membangun Saudi menjadi negara modern, antara lain dengan memberikan pinjaman
sebesar $100 juta dolar untuk pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan
ibukota dengan pantai timur dan barat. Tentu saja, utang ini kemudian semakin
menjerat Saudi.
Konsesi lain dari persahabatan
Saudi-AS ini adalah penggunaan pangkalan udara selama tiga tahun oleh AS pada
tahun 1943 yang hingga saat ini terus dilanjutkan. Pangkalan Udara Dhahran
menjadi pangkalan militer AS yang paling besar dan lengkap di Timur Tengah.
Hingga saat ini, pangkalan ini menjadi basis strategis AS, terutama saat
menyerang negeri Muslim Irak dalam Perang Teluk II. Penguasa keluarga Kerajaan
Saudi dengan sukarela membiarkan wilayahnya dijadikan basis AS untuk membunuhi
sesama saudara Muslim. AS pun kemudian sangat senang dengan kondisi ini.
Pada tahun 1947, saat Putra
Mahkota Emir Saud berkunjung ke AS, dia menerima penghargaan Legion of Merit
atas jasanya kepada sekutu selama perang. Hingga saat ini, persahabatan AS dan
Saudi terus berlanjut walaupun harus menyerahkan loyalitasnya kepada AS dan
membunuh sesama Muslim.
Kecuali Raja Faishal, Raja
Khalid, Raja Fahd dan Raja Abdullah adalah patner utama USA, mulai dari hobi
belanja pribadi, belanja perlengkapan perang hingga plesiran, Amerika adalah
menu dan venue utamanya. Di Amerika mereka adalah tamu agung yg paling
dihormati dengan basa-basi kesopanan yg luar biasa tinggi. Maklum, pasar
senjata utama dan sumber minyak utama berasal dari jubah para Khalifah ini.
Setelah resolusi PBB mengenai
pemecahan Palestina dan pendirian Israel, Pangeran Faisal (masih belum menjadi
raja) mendesak ayahnya supaya memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat,
tetapi desakannya itu ditolak. Selepas skandal keuangan Raja Saud, Pangeran
Faisal dilantik menjadi pemerintah sementara. Pada tanggal 3 November 1964, ia
dilantik menjadi raja setelah Raja Saud di usir keluar dari Arab Saudi ke
Yunani. Raja Faishal adalah Raja yg
pernah mengharubirukan kebijakan global dengan “OIL BOMB”.
“OIL BOMB” adalah kebijakan yg
diambil ketika terjadi perang YOM KIPPUR. Pada tanggal 17 Oktober 1973, ia
menghentikan ekspor minyak Arab Saudi ke Amerika Serikat yang menyebabkan harga
minyak di Amerika Serikat melambung tinggi. Hal ini dilakukan untuk mendesak
Amerika Serikat agar menekan Israel keluar dari wilayah Palestina (Budi, 2010).
2.2. Arab Saudi sebagai negara petro dollar
Negara
Petro dolar adalah semua negara di Timur tengah yang kaya akan minyak. Dengan
kekayaannya inilah Saudi berhasil memodernisasi negaranya. Membeli saham
perusahaan atau membeli perumahan mewah di Barat. Warganya bebas biaya
pendidikan dan kesehatan. Perubahan ini dimulai sekitar 1960 dan mencuat pada
tahun1973 ketika minyak dipakai senjata embargo dalam perang Arab-Israel
keempat. Selain Saudi Arabia, negara petro dollar adalah : Irak, Kuwait, Qatar,
Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Iran.
Minyak
pertama kali diketemukan di al Hasa, dekat teluk Persia dan pada 1944 berdiri
ARAMCO (Arabian American Oil Company), teryata jazirah Arab yang kering
kerontang itu menyimpan emas hitam, terutama dibagian timurnya (Hasa). Berlomba-lomba perusahaan Barat
mencari konsensi (hak guna usaha) di Negara Arab lainnya. Dengan kekayaan
minyak ini diadakan pembangunan secara besar-besaran, tetapi karena kekurangan
tenaga ahli dan terpaksa mendatangkan
dari luar negeri
Berbagai
perusahaan berebutan proyek pembangunan datang dari Amerika, Eropa dan Asia.
Dari Asia adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Plihipina, Indonesia. Proyek
dan kehidupan yang mapan di Saudi Arabia memerlukan tenaga yang banyak.
Sistem
bagi hasil 50:50 pada ARAMCO, teryata harganya dipermainkan dan merugikan Saudi
Arabia. Harga jual minyak mentah sampai 1959 sekitar dua dollar As per barel (1
Barel sama dengan 156 liter). Negara industry di Barat dan Jepang 80 persen dari Timur Tengah. Agar
harganya stabil dan tidak dipermainkan kaum Kapitalis pada tahun 1960 didirikan
OPEC (Organization Petroleum Eksporter Country) di Bagdad, oleh Saudi
Arabia, Iran, Kuawait, Irak, Venezuela. OPEC dapat menentukan
besar kecilnya produksi serta harga jualnya, sehingga tidak merugikan produsen.
Istilah
Petro dollar popular tahun 1973 setelah benteng Yan Kippur di seberang Suez dihancurkan Mesir secara
mendadak. Blok Barat, Terutama America Serikat membantu Israel, Blok Arab dan
OPEC mengantisipasi dengan senjata minyak. Produksi diturunkan sedang harga
dinaikkan dan memboikot negara yang membantu Israel. Blok barat bingung karena
Industrinya terancam apalagi memngahadapi musim dingin. Akibatanya melalui PBB
Blok Barat mengupayakan gencatan senjata dan berhasil. Sebabnya Blok Arab setuju
karena Israel mampu bertahan , bahkan
dapat merebut benteng Yon Kippur.
Selain
untuk biaya pembangunan, Saudi Arab membantu perjaungan melawan Israel,
terutama yang terlibat perang secara langsung (Mesir, Yordania, Libanon,
Syria), juga terhadap PLO. Sikap moderat dan membentuk monarki. Apalagi Iran
(juga Libya) menuntut agar Mekah-Madinah menjadi kota internasional umat Islam.
Pada 1982 Masjidil Haram, diduduki
kelompok anti Monarki sekitar 300 orang dipimpin Abdullah Al-Qahtani (Muhammad Al Quraishi) yang
mengaku Imam Mahdi. Pasukan pemerintah berhasil merebut masjidil Haram, sisa
pemberontak yang hidup di hukum mati. Sedang korban dipihak pemerintah Saudi
Arabia 127 tewas dan 461 luka-luka. Kemudian pada 1987 terjadi demontrasi
jamaah Iran, terjadi konflik fisik dengan polisi, akibatnya yang tewas
sekitar 600 orang. Itulah sebabnya Saudi
Arabia membatasi (kuota) jemaah haji Iran sampai 150.000.
Kehidupan
sosial berubah makin maju, terbukti pada 1962 perbudakan di larang. Beasiswa
diberikan pada pemuda yang melanjutkan pendidikannya ke luar Negeri, tetapi
wanita itu dilarang. Olahraga yang sangat digemari adalah sepak bola, pacuan
kuda dan unta. Dalam Asian Games di Hiroshima, Saudi menduduki ranking ke-16,
prestasi yang cukup baik.
Dalam
perang Irak-Iran, Saudi Arabia membantu dana persenjataan bagi Sadam Husein
(demikian juga Kuwait). Ketika Irak menyerbu Kuwait (1990) pasukan
Internasional PBB (Amerika Serikat) mengusir Irak dari Kuwait (sebelumnya ada
kerja sama militer sehingga Amerika serikat
menempatkan pasukan di Dahran, daerah al-Hasa) demikian juga ketika Irak
mengancam Kuwait (oktober 1994), pasukan Saudi Arabia dan Amerika serikat diperkuat di Dahran dan perbatasan Iran.
BAB III
PENUTUP
3. 1.
Kesimpulan
Arab Saudi mengalami
perkembangan pada masa Raja Abdul Aziz atau biasa yang disebut dengan Ibnu
Saud. Terbentuknya kerajaan Saudi ini tidak lepas dari pengaruh Inggris hal ini
karena Ibnu Saud menganut ajaran Wahhabi yang sangat berbeda dengan ajaran yang
dianut oleh masyarakat setempat. Wahhabi ini merupakan ajaran yang didukung dan
diberikan jalan oleh kerajaan Inggris. Hal ini dikarenakan Inggris ingin
menjatuhkan Islam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki.
Persahabatan Arab Saudi
dengan Amerika Serikat berawal ketika mulai ditemukannya ladang minyak yang
memiliki potensi besar disana. Untuk
kepentingan minyak, pemerintah Amerika Serikat memberikan pinjaman kepadaArab
Saudi. Hal ini yang semakin menjerat Arab Saudi menjadi budak Amerika Serikat.
Di Arab Saudi menyimpan
emas hitam, terutama dibagian timurnya (Hasa). Sehingga pada tahun 1944
didirikanlah ARAMCO (Arabian American Oil Company). Dengan kekayaan minyak ini
diadakan pembangunan secara besar-besaran, tetapi karena kekurangan tenaga ahli dan terpaksa mendatangkan dari luar negeri.
Istilah Petro dollar popular tahun 1973 setelah benteng Yan Kippur di seberang Suez dihancurkan mesir secara
mendadak. Arab Saudi sebagai negara yang kaya akan emas hitamnya sehingga dapat
membantu negara-negara yang sedang mengalami perang.
3. 2.
Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dikaji maka penulis berharap
kepada:
·
Dosen pembimbing mata kuliah Sejarah
Asia Barat Daya untuk memperbaiki dan melengkapi makalah apabila terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam mengutip isi makalah.
·
Semua mahasiswa Jurusan pendidikan
sejarah untuk lebih banyak membaca buku tentang Sejarah Asia Barat Daya agar
banyak memperoleh pengetahuan tentang Sejarah Arab Saudi.
DAFTAR
RUJUKAN
Soeparyo,
Warsito. 1977. Sejarah Timur Tengah Modern. Malang: IKIP Malang.
Soepratignyo
& Sumartini, Sri. 1995. Sejarah Asia Barat Daya. Malang: IKIP Malang.
Budi.
2012. Petro Dolar, (Online), (http://budicanggih.wordpress.com/2012/11/03
/petro-dolar/,
diakses 16 April 2013).
Gistiyan,
Rizky. 2009. Arab Saudi, (Online), (http://rizkygistiyan.blogspot.com/
2009/12/arab-saudi.html).
Zadan. 2010. Arab Saudi
dan Keluarga Sa’ud, (Online), (http://zadandunia.
Blogspot.com/2010/11/arab-saudi-dan-keluarga-saud.html, diakses 16 April 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar