Aneksasi vs Integrasi Papua
tiga kekuatan pengerukan dan penghancuran dinasti Papua. Indonesia? Indonesia ialah agen mereka tiga diatas. Inggris raya keruk dan kuasai Papua Bagian Barat, Freeport AS keruk dan kuasai Papua Bagian Tengah. Lalu Timur Tengah via Binladen Group serbu Papua Bagian Selatan. Imperialisme ada sehingga demikianlah Papua, kolonialisme modern yang lebih canggih ini luput dari perjuangan pemangkasan bentuk bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Tiga garpu, satu sendok dan satu piring, oh kue Papua dibagi sama mereka. Papua hanya objek belaka. Gambar by PNS (Papua National Solidarity).”]
Buaya Muara-Sejarah
merupakan cermin masa depan suatu bangsa. Papua menilik 1 Mei tahun 1963
sebagai bentuk aneksasi atau pencaplokan wilayah. Pemerintah Indonesia
tentu merayakannya sebagai hut gabungnya bumi Papua kedalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada usianya yang ke 50 tahun,
gerakan Organisasi Papua memisahkan diri dari Indonesia sudah membuka
kantor resmi di hampir lima negara. Belum lagi ratusan dukungan dari
oknum maupun lembaga resmi di antar negara kepada pelepasan Papua.
Bicara aneksasi, bukanlah terjadi pada tahun
1963, tetapi sudah dilakukan pasca abad 20 silam. Bagaimana garis batas
ditarik, pengepungan orang Papua dari dua kubu koloni pasca itu sudah
terjalin hingga fase kehadiran Indonesia. Toh, perjuangan Papua di
belahan dunia dan dalam negri Papua sendiri mengumandangkan pencaplokan
sebagai bentuk protes atas kehadiran NKRI disini.
Pembenaran atas pencaplokan kemudian menuai
simpati. Cacatnya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dan pelanggaran HAM
sebagai makanan empuk perluasan jaringan pemisahan Papua. Konon, laju
kampanye Papua Merdeka pun dibarengi dengan laju kapitalisasi Papua.
Ibaratnya ketika Papua merdeka, Sumber Daya Alamnya sudah habis di
keruk. Begitu pula peningkatan kampanye pun menambah represi yang
meninggi.
Aneksasi Papua
Liga Bangsa Bangsa pada abad ke-20 memutuskan
pemisahan Papua Timur dengan Papua Barat. Satu Pulau dua negara fakta
sekarang. Keinginan memisahkan geografis Papua menurut administratif
negara bukan karena permintaan rakyat Pulau ini tetapi wujud dari
konspirasi internasional semata. Perebutan rempah rempat (jaman dahulu)
dan ekspansi kapitalisme (terkini) satu cita cita internasionalisasi
Papua.
Lobi punya lobi, kehadiran Belanda di Papua
menimbulkan kekhawatiran baru. Gerakan Indonesia Merdeka pun menjadikan
kasus Papua sebagai bahan politik empuk untuk menaikkan powernya di
kancah internasional. Dan akhirnya, atas intervesni Amerika, Belanda
harus mengalah dan mengiyakan Indonesia mengatur Papua.
Keberadaan Belanda dikhawatirkan akan
menumbuhkan pola kekuasaan ekonomi yang tinggi dan menjadi ancaman
serius bagi gedung putih. Maka itu, deal punya deal, jadilah Papua
diterlantarkan oleh Belanda dan Indonesia mengurusnya.
Integrasi
Integrasi di catat secara defacto, penguasaan
Papua secara politis disaat itu. Sedangkan secara yuridis hukum, baru
pada tahun 1969 melalui PEPERA yang menghasilkan resolusi PBB yang
menyatakan Papua bagian dari NRI. Hasil voting pakai cara perwakilan di
ikuti 1025 orang Papua. Toh kemudian saat ini masih di perdebatkan,
sampai kapan duduk persoala aturan yang diterapkan PBB disaat itu. Satu
orang satu suara yan seharusnya berlaku di Papua, konon dengan alasan
geografis, mekanisme perwakilan di sepakati pada proses refrendum dunia
kala itu.
Alun alun Utara Yogyakarta jadi saksi bisu.
Walaupun halaman bersejarah tersebut hanya nampak pohon beringin saja,
tak ada patung atau tulisan “disinilah Papua di integrasikan”. Latar
luas lapangan depan rumah Sri Sultan itu justru dijadikan tempat santai,
nongkrong bahkan jualan pedangang kali lima dan pasar skatenan.
Integrasi dimaksudkan untuk membebaskan Papua
dari genggaman Belanda atas deal ekonomi semata Sukarno dengan Amerika
dalam urusan ekonomi, yaitu adanya lirikan Amerika pada laporan penemuan
bijih tambang di Timika. Jadi pembebasan Papua disaat itu yang kini
dikenal dengan integrasi lebih pada mengusir koloni Belanda agar tidak
menancapkan ekopol. Kesepakan tersebut justru balik menjadi ancaman bagi
Amerika pasca nasionalisasi aset asing oleh Sukarno, hancurlah ide ide
pembebasan Papua pasca 1965/tragedi PKI. Jadilah “Papua Menjadi Negri
Yang Pembebasannya Terlunta lunta”.
Masa Depan Papua
Apalagi yang kurang. Otsus sudah diberikan
dan sebelas tahun Undang Undang ini berlaku. Toh, aturan daerah
PERDASI/PERDASUS belum ada hingga sekarang. Padahal, otsus dijalankan
dengan adanya peraturan daerah khusus. Apa yang terjadi? Papua dibuat
compang camping. Ada banyak produk hukum mengalir disini, toh, berlalu
begitu saja. Semangat memajukan Papua sudah di gebrakkan oleh Jenderal
Sudirman di masa REPELITA era Orba, sekarang dilanjutkan dengan era
reformasi dan otsus pula.
Tak hanya aturan kekususan Papua. Jargon
pemerintah Indonesia untuk memberi fasilitas kepada pemodal asing turut
mewarnai permasalahan wilayah paling timur ketatanegaraan. Kehadiran
asing untuk Papua tak saja sebelah mata untuk mengeruk kekayaan, asing
juga kini memberi ruang yang begitu luas kepada perjuangan Papua
memisahkan diri dari NKRI.
Entah kapan dan waktunya untuk membuktikan
plebilisit Bumi Papua dalam kerangka aneksasi seumur hidup ataukah
problem integrasi menjustifikasi tindakan tindakan brutal yang mengarah
pada penghempitan hak asasi orang Papua.
Pergolakan Papua patut di akhiri demi
memenuhi rasa nyaman demi menata masa depan Papua. Kelompok kelompok
baik yang memihak pada rakyat maupun independen harus jelas dan terang
benderang mendorong proses damai. Jawaban perseteruan sampai sekarang
telah digantung pada pemerintahan sekarang untuk mau memulai proses
progresif mencapai penyelesaian Papua. Maka itulah, 1 Mei tahun 2013
pintu perundingan RI-Papua?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar